Mengenal Qiro`ah, Bacaan Al-Quran
Dalam membaca Al-Quran ada tatacara pelafadzan, pengucapan juga bacaan kalimat yang dibaca sesuai dengan pengajaran dari Rosulullah SAW.
Dalam ajaran islam, dikenal dengan sebutan Qiro'ah, Qiraat, yang mana kesemuanya bermuara pada penyampaian dan penerimaan dari jalan untaian siperawi, pemangku bacaan itu.
Ada Qiro'ah Sab'ah, Qiroah 'Asyaroh dan Qiro'ah Arba'ata 'Asyaroh.
Qiro’at sab’ah atau qiro’at tujuh adalah macam cara membaca al-qur’an yang berbeda. disebut qiro’at tujuh karena ada tujuh imam qiro’at yang terkenal masyhur yang masing-masing memiliki langgam bacaan tersendiri. tiap imam qiro’at memiliki dua orang murid yang bertindak sebagai perawi. tiap perawi tersebut juga memiliki perbedaan dalam cara membaca qur’an. sehingga ada empat belas cara membaca al-qur’an yang masyhur.
perbedaan cara membaca itu sama sekali bukan dibuat-buat, baik dibuat oleh imam qiro’at maupun oleh perawinya. cara membaca tersebut merupakan ajaran Rasulullah dan memang seperti itulah al-qur’an diturunkan.
Dari umar bin khathab, ia berkata, “aku mendengar hisyam bin hakim membaca surat al-furqon di masa hidup Rasulullah. aku perhatikan bacaannya. tiba-tiba ia membaca dengan banyak huruf yang belum pernah dibacakan Rasulullah kepadaku, sehingga hampir saja aku melabraknya di saat ia shalat, tetapi aku urungkan. maka, aku menunggunya sampai salam. begitu selesai, aku tarik pakaiannya dan aku katakan kepadanya, ‘siapakah yang mengajarkan bacaan surat itu kepadamu?’ ia menjawab, ‘Rasulullah yang membacakannya kepadaku. lalu aku katakan kepadanya, ‘kamu dusta! demi Allah, Rasulullah telah membacakan juga kepadaku surat yang sama, tetapi tidak seperti bacaanmu. kemudian aku bawa dia menghadap Rasulullah, dan aku ceritaan kepadanya bahwa aku telah mendengar orang ini membaca surat al-furqon dengan huruf-huruf (bacaan) yang tidak pernah engkau bacakan kepadaku, padahal engkau sendiri telah membacakan surat al-furqon kepadaku. maka Rasulullah berkata, ‘lepaskanlah dia, hai umar. bacalah surat tadi wahai hisyam!’ hisyam pun kemudian membacanya dengan bacaan seperti kudengar tadi. maka kata Rasulullah, ‘begitulah surat itu diturunkan.’ ia berkata lagi, ‘bacalah, wahai umar!’ lalu aku membacanya dengan bacaan sebagaimana diajarkan Rasulullah kepadaku. maka kata Rasulullah, ‘begitulah surat itu diturunkan. Sesungguhnya Al-Qur’an itu diturunkan dengan tujuh huruf, maka bacalah dengan huruf yang mudah bagimu di antaranya.’” [HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud, An-Nasa’i, At-Tirmidzi, Ahmad, dan Ibnu Jarir]
Mengenai makna dari ‘tujuh huruf’ tersebut ada dua pendapat yang kuat. pertama adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa arab mengenai satu makna: Quraisy, Hudzail, Saqif, Hawazin, Kinanah, Tamim, dan Yaman.
Diumpamakan kalau Dulu menggunakan ejaan yang lama bahasa Indonesia " Doeloe " dengan ejaan yang telah disempurnakan " dulu " lafadz berbeda dengan bunyi yang sama. maka Tulisan "Doeloe" di rubah menjadi "dulu" tulisannya berubah tapi bacaannya sama. Padahal Bahasa Indonesia Bahasa Pemersatu Bangsa.
hikmah diturunkannya al-qur’an dengan tujuh huruf antara lain: Memudahkan bacaan dan hafalan bagi bangsa ummi, Bukti kemukjizatan Al-Qur’an dari sisi kebahasaan orang arab, dan Kemukjizatan dalam aspek makna dan hukum (ketujuh huruf tersebut memberikan deskripsi hukum yang dikandung al-qur’an dengan lebih komprehensif dan universal).
At-Turmudzy meriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab, ia mengatakan: “Rasulullah SAW berjumpa dengan Jibril di gundukan Marwah”. Ia (Ka’ab) berkata: “Kemudian Rasul berkata kepada Jibril bahwa aku ini diutus untuk ummat yang ummy (tidak bisa menulis dan membaca). Diantaranya ada yang kakek-kakek tua, nenek-nenek bangka dan anak-anak”. Jibril menjawab: “Perintahkan, membaca Al-Qur’an dengan tujuh huruf”. Imam Turmudzy mengatakan: “Hadits ini hasan lagi shahih”.
Dalam suatu lafazh lain disebutkan: “Barangsiapa membacanya dengan satu huruf saja berarti telah membaca seperti ia (Nabi) membaca”.
Dituturkan dalam lafazh Hudzaefah, kemudian aku berkata: “Wahai Jibril bahwa aku diutus untuk ummat yang ummiyah di dalamnya terdapat orang lelaki, perempuan, anak-anak, pelayan (babu) dan kakek tua yang tidak bisa membaca sama sekali”. Jibril balik berkata: “Bahwa Al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf”.
Jumlah Qira’at Dan Aneka Ragam Pendapat Tentang Qira’at
Qira’at ada macam-macam jenisnya. pendapat tentang qira’at itu sendiri juga sangatlah beragam dan semua pendapat tersebut sangatlah berbobot seperti yang tertera di bawah ini.Pengarang kitab Al-Itqan Fi 'Ulumil Quran menyebutkan; macam-macam qira’at itu ada yang mutawatir, masyhur, Syadz, ahad, maudhu’ dan mudarraj.
Qadhi’ Jalaluddin al-Bulqiny mengatakan: Qira’at itu terbagi ke dalam: mutawatir, ahad dan syadz.
Yang mutawatir adalah qira’at tujuh yang masyhur. Yang ahad adalah qira’at tsalatsa (tiga) yang menjadi pelengkap qira’ah ‘asyrah (sepuluh), yang kesemuanya dipersamakan dengan qira’at para sahabat. Adapun qira’at yang syadz ialah qira’at para tabi’in seperti qira’at A’masy, Yahya ibnu Watsab, Ibnu Jubair dan lain-lain.
Imam as-Suyuthy mengatakan bahwa kata-kata di atas perlu ditinjau kembali. Yang pantas untuk berbicara dalam bidang ini adalah tokoh qurra’ pada masanya yang bernama Syaikh Abu al-Khair ibnu al-Jazary dimana beliau mengatakan dalam muqaddimah kitabnya An-Nasyr: “Semua qira’at yang sesuai dengan bacaan Arab walau hanya satu segi saja dan sesuai dengan salah satu mushhaf Utsmany walaupun hanya sekedar mendekati serta sanadnya benar maka qira’at tersebut adalah shahih (benar), yang tidak ditolak dan haram menentangnya, bahkan itu termasuk dalam bagian huruf yang tujuh dimana Al-Qur’an diturunkan. Wajib bagi semua orang untuk menerimanya baik timbulnya dari imam yang tujuh maupun dari yang sepuluh atau lainnya yang bisa diterima. Apabila salah satu persyaratan yang tiga tersebut di atas tidak terpenuhi maka qira’at itu dikatakan qira’at yang syadz atau bathil, baik datangnya dari aliran yang tujuh maupun dari tokoh yang lebih ternama lagi. Inilah pendapat yang benar menurut para muhaqqiq dari kalangan salaf maupun khalaf.
Pengarang kitab Ath-Thayyibah dalam memberikan batas diterimanya qira’at mengatakan: Setiap bacaan yang sesuai dengan nahwu, mirip dengan tulisan mushhaf Utsmany, benar adanya itulah bacaan. Ketiga sendi ini, bila rusak salah satunya menyatakan itu cacat, meski dari qira’at sab’ah datangnya.
Qira’at ada yang mengartikan qira’at sab’ah, qira’at sepuluh dan qira’at empat belas. Semuanya yang paling terkenal dan nilai kedudukannya tinggi ialah qira’at sab’ah.
Qira’at sab’ah (tujuh) adalah qira’at yang dinisbatkan kepada imam yang tujuh dan terkenal, yaitu: Nafi’, Ashim, Hamzah, Abdullah bin Amir, Abdullah ibnu Katsir, Abu Amer ibnu ‘Ala’ dan Ali al-Kisaiy.
Qira’at ‘asyar (sepuluh) adalah qira’at yang tujuh ditambah dengan qira’at: Abi Ja’far, Ya’qub dan Khalaf.
Qira’at arba’ ‘asyar (empat belas) yaitu qira’at yang sepuluh ditambah empat qira’at: Hasan al-Bashry, Ibnu Mahish, Yahya al-Yazidy dan asy-Syambudzy.
Qiro`ah Sab`ah adalah Qiro`ah Utsmani.
Pendapat yang paling masyhur mengenai pentafsiran Sab’atu Ahruf adalah pendapat Ar-Razi dikuatkan oleh Az-Zarqani dan didukung oleh jumhur ulama. Perbedaan yang berkisar pada tujuh wajah;
1. Perbedaan pada bentuk isim , antara mufrad, tasniah, jamak muzakkar atau mu’annath. Contohnya,
وَالَّذِينَ هُمْ لأمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ (Al-Mukminun:
Lafad bergaris dibaca secara jamak لأمَانَاتِهِمْ dan mufrad لأمَانتِهِمْ.
2. Perbedaan bentuk fi’il madhi , mudhari’ atau amar. Contohnya,
فَقَالُوا رَبَّنَا بَاعِدْ بَيْنَ أَسْفَارِنَاٍ (Saba’ : 19)
Sebahagian qiraat membaca lafad ‘rabbana’ dengan rabbuna, dan dalam kedudukan yang lain lafad ‘ba’idu’ dengan ‘ba’ada’.
3. Perbedaan dalam bentuk ‘irab.
Contoh, lafad إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلا يُضَارَّ كَاتِبٌ (Al-Baqarah: 282) dibaca dengan disukunkan huruf ‘ra’ sedangkan yang lain membaca dengan fathah.
4. Mendahulukan (taqdim) dan mengakhirkan (ta’khir).
Contoh,
وَجَاءَتْ سَكْرَةُ الْمَوْتِ بِالْحَق (Surah Qaf: 19) dibaca dengan didahulukan ‘al-haq’ dan diakhirkan ‘al-maut’,وَجَاءَتْ سَكْرَةُالْحَق بِالْمَوْتِ . Qiraat ini dianggap lemah.
5. Perbedaan dalam menambah dan mengurangi.
Contoh ayat 3, Surah al-Lail,
وَمَا خَلَقَالذَّكَرَ وَالأنْثَى
Ada qiraat yang membuang lafad ‘ma kholaqo’(bergaris).
6. Perbedaan ibdal (ganti huruf).
Contoh, kalimah ‘nunsyizuha’ dalam ayat 259 Surah al-Baqarah dibaca dengan ‘nunsyiruha’ (‘zai’ diibdalkan dengan huruf ‘ra’).
7. Perbedaan lahjah
Seperti dalam masalah imalah, tarqiq, tafkhim, izhar, idgham dan sebagainya. Perkataan ‘wadduha’ dibaca dengan fathah dan ada yang membaca dengan imalah (teleng) dengan bunyi ‘wadduhe’ (sebutan antara fathah dan kasrah).
Itulah tujuh Imam yang tak diragukan lagi.
Nama lengkapnya adalah Abdullah al-Yahshshuby seorang qadhi di Damaskus pada masa pemerintahan Walid ibnu Abdul Malik. Pannggilannya adalah Abu Imran. Dia adalah seorang tabi’in, belajar qira’at dari Al-Mughirah ibnu Abi Syihab al-Mahzumy dari Utsman bin Affan dari Rasulullah SAW. Beliau Wafat di Damaskus pada tahun 118 H. Orang yang menjadi murid, dalam qira’atnya adalah Hisyam dan Ibnu Dzakwan.
Dalam hal ini pengarang Asy-Syathiby mengatakan: “Damaskus tempat tinggal Ibnu ‘Amir, di sanalah tempat yang megah buat Abdullah. Hisyam adalah sebagai penerus Abdullah. Dzakwan juga mengambil dari sanadnya.
Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad Abdullah Ibnu Katsir ad-Dary al-Makky, ia adalah imam dalam hal qira’at di Makkah, ia adalah seorang tabi’in yang pernah hidup bersama shahabat Abdullah ibnu Jubair. Abu Ayyub al-Anshari dan Anas ibnu Malik, dia wafat di Makkah pada tahun 120 H. Perawinya dan penerusnya adalah al-Bazy wafat pada tahun 250 H. dan Qunbul wafat pada tahun 291 H.
Asy-Syathiby mengemukakan: “Makkah tempat tinggal Abdullah. Ibnu Katsir panggilan kaumnya. Ahmad al-Bazy sebagai penerusnya. Juga….. Muhammad yang disebut Qumbul namanya.
Nama lengkapnya adalah ‘Ashim ibnu Abi an-Nujud al-Asady. Disebut juga dengan Ibnu Bahdalah. Panggilannya adalah Abu Bakar, ia adalah seorang tabi’in yang wafat pada sekitar tahun 127-128 H di Kufah. Kedua Perawinya adalah; Syu’bah wafat pada tahun 193 H dan Hafsah wafat pada tahun 180 H.
Kitab Syathiby dalam sya’irnya mengatakan: “Di Kufah yang gemilang ada tiga orang. Keharuman mereka melebihi wangi-wangian dari cengkeh Abu Bakar atau Ashim ibnu Iyasy panggilannya. Syu’ba perawi utamanya lagi terkenal pula si Hafs yang terkenal dengan ketelitiannya, itulah murid Ibnu Iyasy atau Abu Bakar yang diridhai.
Nama lengkapnya adalah Abu ‘Amr Zabban ibnul ‘Ala’ ibnu Ammar al-Bashry, sorang guru besar pada rawi. Disebut juga sebagai namanya dengan Yahya, menurut sebagian orang nama Abu Amr itu nama panggilannya. Beliau wafat di Kufah pada tahun 154 H. Kedua perawinya adalah ad-Dury wafat pada tahun 246 H. dan as-Susy wafat pada tahun 261 H.
Asy-Syathiby mengatakan: “Imam Maziny dipanggil orang-orang dengan nama Abu ‘Amr al-Bashry, ayahnya bernama ‘Ala, Menurunkan ilmunya pada Yahya al-Yazidy. Namanya terkenal bagaikan sungai Evfrat. Orang yang paling shaleh diantara mereka, Abu Syua’ib atau as-Susy berguru padanya.
Nama lengkapnya adalah Hamzah Ibnu Habib Ibnu ‘Imarah az-Zayyat al-Fardhi ath-Thaimy seorang bekas hamba ‘Ikrimah ibnu Rabi’ at-Taimy, dipanggil dengan Ibnu ‘Imarh, wafat di Hawan pada masa Khalifah Abu Ja’far al-Manshur tahun 156 H. Kedua perawinya adalah Khalaf wafat tahun 229 H. Dan Khallad wafat tahun 220 H. dengan perantara Salim.
Syatiby mengemukakan: “Hamzah sungguh Imam yang takwa, sabar dan tekun dengan Al-Qur’an, Khalaf dan Khallad perawinya, perantaraan Salim meriwayatkannya.
Nama lengkapnya adalah Abu Ruwaim Nafi’ ibnu Abdurrahman ibnu Abi Na’im al-Laitsy, asalnya dari Isfahan. Dengan kemangkatan Nafi’ berakhirlah kepemimpinan para qari di Madinah al-Munawwarah. Beliau wafat pada tahun 169 H. Perawinya adalah Qalun wafat pada tahun 12 H, dan Warasy wafat pada tahun 197 H.
Syaikh Syathiby mengemukakan: “Nafi’ seorang yang mulia lagi harum namanya, memilih Madinah sebagai tempat tinggalnya. Qolun atau Isa dan Utsman alias Warasy, sahabat mulia yang mengembangkannya.
Nama lengkapnya adalah Ali Ibnu Hamzah, seorang imam nahwu golongan Kufah. Dipanggil dengan nama Abul Hasan, menurut sebagiam orang disebut dengan nama Kisaiy karena memakai kisa pada waktu ihram. Beliau wafat di Ranbawiyyah yaitu sebuah desa di Negeri Roy ketika ia dalam perjalanan ke Khurasan bersama ar-Rasyid pada tahun 189 H. Perawinya adalah Abul Harits wafat pada tahun 424 H, dan ad-Dury wafat tahun 246 H. [4]
Inilah Qiraat yang 7, adapun tambahannya adalah:
8. Qiraat Ya’kub bin IshaQ Hadhrami. Meninggal 250 Hijrah.
9. Qiraat Khalaf bin Hisyam. Meninggal 229 Hijrah.
10. Qiraat Yazid bin Al- Qa’qa dikenali sebagai Abu Ja’far. Meninggal 130 Hijrah.
Disamping itu terdapat pula Qiraat 14, yakni ditambah :
11. Qiraat Hasan Al Bashri. Meninggal 110 Hijrah.
12. Qiraat Yahya bin Al Mubarak Al Yazid. Meninggal 202 Hijrah.
13. Qiraat Muhammad bin Abdurrahman yang dipanggil Ibnu Muhaishan. Meninggal 123 Hijrah.Q
14. Qiraat Abil- Faraj Muhammad bin Ahmad Asy- Syanbuzi. Meninggal 388 Hijrah.
F. Syarat-Syarat Qiraat yang Muktabar dan Jenisnya
Untuk menangkal penyelewengan Qiraat yang sudah mulai muncul, para ulama membuat persyaratan-persyaratan bagi qiraat yang dapat diterima. Hal ini untuk membedakan Qiraat yang benar dan yang aneh/asing (Syazzah). Para ulama membuat tiga syarat.
- Pertama, Qiraat itu sesuai dengan bahasa Arab meskipun menurut satu jalan.
- Kedua, Qiraat itu sesuai dengan salah satu mushaf-mushaf utsmani.
- Ketiga, sahih sanadnya.