" ليس الجمال بأثواب تزيننا ولكن الجمال بجمال العلم والأدب "

Silahkan cari:
Subscribe:

Ads 468x60px

Kamis, 26 April 2012

Abuya Muhammad Dimyathi Amin AlBantani

Diposkan Oleh: Muhtadi Bantan - Diperbarui Pada: Kamis, 26 April 2012 Pukul 18.32.00


Share this :

Abuya Muhammad Dimyathi Amin AlBantani

Abuya adalah tokoh yang senantiasa menjadi pusat perhatian, yang justru ketika dia lebih ingin “menyedikitkan” bergaul dengan makhluk demi mengisi sebagian besar waktunya dengan ngaji dan ber-tawajjuh ke hadratillah. "Tarekat aing mah ngaji!"

Biografi singkat.

Beliau bernama lengkap Muhammad Dimyathi bin Muhammad Amin. Ibunya bernama Hj. Ruqayyah. Lahir di pandeglang 27 Syaban 1347 H bertepatan dengan tahun 1920 M. Nasabnya bersambung kepada Nabi Muhammad Saw melaui Maulana Hasanuddin Sulthan Banten pertama. 

Sejak kecil mendapat bimbingan sang ayah dalam mempelajari ajaran Islam. Kemudian Ia berkelana dalam dunia ilmu pengetahuan islam ke berbagai pesantren di tanah jawa. Mulai dari pesantren yang berada di Cadasari, Kadu Pesing Pandeglang, Pelamunan, Plered cirebon, Purwakarta, Kaliwungu, Jogja, Watucongol, Bendo Pare dsb. Belajar dari satu pesantren ke pesantren lainnya, menjelajah tanah Jawa hingga ke pulau Lombok demi memenuhi pundi-pundi keilmuannya.

Para guru.

Guru-guru beliau di antaranya adalah Abuya Abdul Halim Kadupesing. Waktu nyantri disini, Abuya sejaman dengan Syekh Ahmad Damanhuri Arman dengan sebutan Buya Mekah, ia seorang ulama Pandeglang salah satu rekan dan kebetulan kakak ipar Abuya pula karena Abuya menikah dengan Nyai Asmah, adik Buya Mekah ini dari lain bapak. Buya Muqri abdul hamid bin Sukia Karobohong Labuan Pandeglang, Mama Tubagus Ahmad Bakri bin Tubagus Seda Sempur, Mbah Dalhar Watucongol, Mbah Nawawi Jejeran Jogja, Mbah Khozin Bendo Pare, Mbah Baedlowi lasem, Mbah Rukyat Kaliwungu juga banyak yang lainnya yang tida tersebutkan nama kebesarannya. Kebanyakan guru-guru tersebut wafat tak lama setelah Abuya berguru. Mungkin ini menunjukan bahwa Abuya mewarisi seluruh keilmuan dan keberkahan mereka rahimahumullah.

Awal istiqomah.

Abuya merintis pesantren di desa Cidahu Pandeglang sekitar tahun 1965, dan telah banyak melahirkan ulama-ulama ternama seperti Habib Hasan bin Ja’far Assegaf yang sekarang memimpin Majelis Nurul Musthofa di Jakarta. Dalam bidang tasawuf, adab dan etika dalam ibadah juga bidang 'Ilmil Qoum', Abuya menganut tarekat Qodiriyyah-Naqsabandiyyah dari Syeikh Abdul Halim Kadupeusing. Tetapi praktik suluk dan tarekat, kepada jama’ah-jama’ah Abuya hanya mengajarkan Thariqah Syadziliyah dari syekh Dalhar Watucongol. Itu sebabnya, dalam perilaku sehari-hari ia tampak tawadhu’, zuhud dan ikhlas. Banyak dari beberapa pihak maupun wartawan yang coba untuk mempublikasikan kegiatannya di pesantren selalu di tolak dengan halus oleh Abuya.

Para murid.

Murid-murid beliau menyebar dari berbagai peloksok negeri. Mungkin jumlahnya jutaan bila setiap orang yang pernah mendapatkan pengalaman batin yang berharga dengan beliau di anggap sebagai murid walau ia hanya bersowan beberapa kali. Atau pernah mengaji sekali atau dua kali di majlis beliau. Karena banyak para tamu yang berniat hanya memohon do’a kemudian tertarik ingin mengikuti pengajian beliau walau hanya sekali. Kiayi-kiayi sepuh wilayah Banten umumnya mengikuti pengajian beliau setiap malam selasa yang dilaksanakan tengah malam. Belum murid-murid yang berijazah hizib nashar dan tariqah Sadziliyah yang jumlahnya sangat banyak yang diadakan pengijazahan umum Tariqah Syadziliyah ini pada setiap hari Sabtu pertama, kedua dan ketiga di bulan Rabi'ul Awwal (Mulud) karena hari Sabtu keempat (akhir) husus untuk ijazah para muslimat.

Di antara murid-murid beliau adalah Abah Yusup bin Sa'id Caringin Tangerang Banten (biar pun tidak nyantri di Abuya akan tetapi Abah Yusuf mengikuti pengajian hari Minggu hingga akhir hayat), Ki Mufassir Padarincang, Habib hasan bin Ja’far Asseqaf pengasuh majlis ta’lim Nurul Musthofa, Jakarta dan tentunya putra-putri Abuya sendiri seperti KH. Muhtadi, KH. Murtadlo dan yang lainnya.

Sosok Abuya

Abuya bagi masyarakat Islam laksana oase di tengah kehidupan yang kering dari nilai-nilai. Beliaulah lambang keterusterangan di tengah kegemaran berbasa basi. Beliaulah lambang kiayi yang istiqomah di tengah maraknya kiayi yang terpesona kehidupan duniawi. Karakternya begitu kuat. Wibawanya tak tertandingi Presiden RI. Hidupnya begitu sederhana. Ia hanya tinggal di sebuah gubuk lusuh yang terbuat dari bambu dan seng saja. Majlisnya tak berlistrik. Wajahnya begitu manis. Marahnya adalah cinta. Lirikannya adalah berkah. Sentuhannya adalah nikmat agung. Do’anya mustajab. Diamnya adalah berfikir dan berdzikir. Siapa orang yang pernah berjumpa dengannya pasti akan mendapat kesan berharga dalam kehidupannya. Kita termasuk orang-orang yang beruntung hidup sezaman dengannya apalagi sampai dapat bertemu dengannya.

Penulis adalah salah seorang yang beruntung itu. Walau penulis tidak nyantri kepada Abuya. Penulis tahun 1990 waktu belajar ngaji di Mama Sanja Kadukaweng selalu mengikuti pengijazahan mulai dari berbagai hizib hingga ke Mushafahah Talqin Tariqah Syadziliyyah, dan alhamdulillah itu terjadi pada hari Sabtu jam 3 sore hari kesepuluh bulan Rabi'ul Awwal 1411 H, 29 September 1990 M.

Abuya menekankan pada pentingnya ngaji dan belajar, yang itu sering disampaikan dan diingatkan Abuya kepada para santri dan kiai secara keseluruhan, adalah jangan sampai ngaji ditinggalkan karena kesibukan lain ataupun karena umur. Sebab, ngaji tidak dibatasi umur. Sampai-sampai Abuya sering berujar: "Tarekat aing mah ngaji!", yang artinya ngaji dan belajar adalah thariqahku, jalanku untuk sampai (wushul).

Kepada putera-puterinya termasuk juga kepada santri-santri, Abuya menekankan arti penting jama’ah dan ngaji sehingga seakan-akan mencapai derajat wajib. Artinya, tidak boleh ditawar bagi santri, apalagi putera-puterinya. Abuya tidak akan memulai shalat dan ngaji, kecuali putera-puterinya yang seluruhnya adalah seorang hafidz (hafal Al-Qur’an) itu sudah berada rapi, berjajar di barisan (shaf) shalat atau ngaji. Jika belum datang, maka kentongan sebagai isyarat waktu shalat atau ngaji dipukul lagi bertalu-talu. Sampai semua hadir, dan shalat jama’ah atau ngaji akan dimulai.

Karangan Abuya Dimyati di antaranya Nurul Hidayah berisi tata cara salik ibtida, Minhajul Ishtifa menguraikan tentang diantaranya khushushiyat hizib nashar dan hijib ikhfa. Dikarang pada bulan rajab 1379/1959. juga kitab Ashlul Qadr tentang khushushiyat sahabat pada perang badr berupa nadzam dengan bahar kamil. Juga kitab Bahjatul Qolaa-id, Nadzam Tijanuddarari, dan alHadiyyat aljalaliyah tentang bacaan dalam zikir Tareqah Syadziliyah.
         
Manusia mulia yang sulit dicari penggantinya ini wafat malam jum’at jam 03:oo WIB tanggal 07 sya’ban 1423 H. bertepatan dengan 03 oktober 2003 setelah bermarhaban baru selesai. Yaa ayyatuhannafsul muthmainnah irji’ii ilaa rabbiki raadliyatam mardliyyah fadkhulii fii ibaadii wadkhulii jannatii.

Bukan hanya masyarakat Banten, tapi juga umat Islam pada umumnya merasa kehilangan. Ia di makamkan tidak jauh dari rumahnya di Cidahu Pandeglang, dan hingga kini makamnya selalu ramai dikunjungi oleh para peziarah dari berbagai daerah di Tanah Air. Banten telah kehilangan sosok ulama kharismatik dan tawadhu’ yang menjadi tumpuan berbagai kalangan masyarakat untuk dimintai nasihat.


Belia meninggalkan keluarga, Istri & putra dan putri

  1. Ibu Hj. Asmah bt. Abuya Jasir, yang wafatnya telah mendahului Abuya.
  2. Ibu Hj. Dalalah, wafat menyusul Abuya.
  3. Ibu Hj. Serang, masih ada di Serang.
  4. Ibu Hj. Ipah, masih ada di Pandeglang.

Putra dan putri

  1. KH. Muhtadi
  2. KH. Murtadho
  3. KH. Abdul 'Aziz (ende Aziz)
  4. KH. Muntaqo
  5. KH. Mujahid (alm)
  6. Hj. Musfiroh (almh)
  7. KH. Muqotil (Aceng)

dan

  1. Hj. Qoyyimah
  2. KH. Mujtaba



Demikian sekilas riwayat Guru Besar Abuya Muhammad Dimyathi Amin AlBantani, mudah-mudahan bermanfaat. Amin.


Artikel Terkait:

0 Blogger
Twitter
Facebook

0 komentar:

Posting Komentar