" ليس الجمال بأثواب تزيننا ولكن الجمال بجمال العلم والأدب "

Silahkan cari:
Subscribe:

Ads 468x60px

Tentang Hati Kita

Diposkan Oleh: Muhtadi Bantan - Diperbarui Pada: Sabtu, 05 Juli 2014 Pukul 02.26.00



Tentang Hati Kita


Tentang Hati.
Imam Al-Ghazali mengelompokkan hati menjadi 3 macam:
1. Hati sehat dan bercahaya (yaitu hati yang beriman, ikhlas dan penuh cinta)
2. Hati yang sakit (yaitu hati yang sulit menahan nafsu seperti iri, dengki, dendam prasangka buruk, marah, menghasut menggunjing)
3. Hati yang mati (yaitu hati yang ingkar dan durhaka kepada ALLAH, Rasulullah Shalallahu alaihiwasallam, kedua orang tua, kepada 'Ulama dan Guru).

Imam Al-Ghazali berkata: Penyebab Hati menjadi mati :
1. Ingkar kepada ALLAH, Rosululloh dan Para Ulama
2. Prasangka buruk
3. Menggunjing
4. Memfitnah
5. Malas Ibadah
6. Memakan makanan yang haram 
7. Terlalu cinta dunia
8. Tidak Ikhlas
9. Marah dan dendam
10. Kurang Bersyukur.

Bagaimana cara menghidupkan hati atau mengobati hati yang sakit.
Ingatlah istilah "tombo ati" Obat hati ada 5, yakni :
1. Membaca Al Qur'an dan mentadabburi ayat-ayatnya
2. Menghidupkan shalat malam
3. Perbanyak puasa sunah, sebagai latihan mengendalikan hawa nafsu
4. Berkumpul / mendekat dengan lingkungan orang-orang yang soleh.
Mereka adalah teman dan sahabat yang senantiasa mengingatkan dan mengajak kita pada jalan kebaikan
5. Perbanyak dzikir untuk membersihkan dan melembutkan hati.

Semoga Allah Ta'ala senantiasa membimbing kita pada jalanNya dan memberikan karunia qolbu yang bersih, tenang dan tenteram, sehingga mampu membaca Cahaya petunjuk dariNya. Aamiin

Makna Hidup Dalam Berproses

Diposkan Oleh: Muhtadi Bantan - Diperbarui Pada: Sabtu, 07 Juni 2014 Pukul 00.02.00


Makna Hidup Dalam Berproses.

Makna Hidup Dalam Berproses


Dalam ajaran sunda ada perkataan "Ulah eureun melak paré pédah aya béja isuk rék kiamat" (Jangan stop menanam padi karena ada berita bahwa besok akan kiamat).
Ucapan2 seperti ini tidak terlepas dari wejangan2 para leluhur kita dahulu, disarikan dari inti ajaran yg luhur.

Seperti dalam sebuah riwayat;
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda “Sekiranya kiamat datang, sedangkan di tanganmu ada anak pohon kurma, maka jika (masih) bisa menanamnya (tidak berlangsung kiamat itu sehingga selesai menanam tanaman), hendaklah kamu menanamnya (HR. Ahmad).

Disini Rasulullah Saw mengajarkan kita arti sebuah proses. Bahkan ketika kita sadar sepenuhnya bahwa kehancuran pasti datang, tetaplah menjalani proses yang ada. Melakukan perbaikan adalah proses yang harus terus berjalan walau mungkin ujungnya tidak bisa kita raba apalagi prediksi.

Kita diajarkan untuk berproses. Makanya dalam Islam, ibadah yang sedikit namun kontinyu dibilang sebuah hal yang sangat baik, ketimbang ibadah borongan. Kata pepatah sunda dikatakan 'Ibadah hirup kudu malapah gedang ulah gebrag tumbila'. Hal ini karena ibadah yang sedikit, sederhana namun kontinyu bukan hanya bertujuan pada hasil (berupa pahala dan keredhaan Allah) namun juga sebagai pembentuk karakter diri menjadi orang yang dalam tingkah sederhananya selalu merasakan adanya kuasa dan pantauan Allah. Hal ini akan membentuk karakter muraqabah, selalu merasa diawasi Allah.

Maka, berproseslah Sahabat!

URAIAN TENTANG UCAPAN AL-IMAM AL-SYAFI'I : IN SHAHHAL HADITS FAHUWA MADZHABI

Diposkan Oleh: Muhtadi Bantan - Diperbarui Pada: Jumat, 06 Juni 2014 Pukul 07.35.00


URAIAN TENTANG UCAPAN AL-IMAM AL-SYAFI'I : IN SHAHHAL HADITS FAHUWA MADZHABI.

URAIAN TENTANG UCAPAN AL-IMAM AL-SYAFI'I : IN SHAHHAL HADITS FAHUWA MADZHABI


إن صحّ الحديث فهو مذهبي

أي مذهبي مستنبطة من الأحاديث الصحيحة
وليس كل أحاديث الصحيحة مذهبي
لتعرّض الأدلّة من العام والخاص والمبيّن والمطلق

Ada sebagian anak Adam yang mempunyai kecerdasan intelektual namun kurang jeli dalam anutannya, telah memberikan peringatan pada pengikut / muqollid Al-Imam Al-Syafi’i dengan salah satu perkataan beliau, “In shahha al-hadits fahuwa mazdhabi (apabila suatu hadits itu shahih, maka hadits itulah mazhabku)” dan melarang taklid dalam beribadah.

Imam Al-Nawawi ra. (mujtahid fatwa) sepakat dengan semua gurunya tentang hal ini bahwa benar memang Al-Syafi'i berkata demikian. Akan tetapi perkataan (Ucapan Al-Syafi’i) ini bila pun direalisasikan dalam hal hanya untuk dzohirnya saja maka perkataan beliau itu terkhusus untuk orang yang telah mencapai derajat mujtahid madzhab. Dengan asumsi (syarat) bahwa ia (mujtahid madzhab,_) harus yakin bahwa Al-Syafi’i belum mengetahui hadits itu atau tidak mengetahui (status) kesahihannya. Dan hal ini hanya bisa dilakukan setelah mengkaji semua buku Al-Syafi’i dan buku murid-muridnya. Syarat yang sangat berat, dan sedikit sekali orang yang mampu memenuhinya. Mereka (para penerjemah seluruh perkataan Al-Syafi'i atau bisa di sebut Ashhabul wujuh,_) mensyaratkan hal ini karena Al-Syafi’i sering kali meninggalkan sebuah hadits yang ia jumpai akibat cacat yang ada di dalamnya, atau mansukh, atau ditakhshish, atau ditakwil, atau sebab-sebab lainnya.”

Semua ahli hadits pasti tahu bahwa hadits yang telah terbukukan dalam kitab-kitab hadits jumlahnya jauh di bawah jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh Al-Hafidz (minimal 100.000 hadits) dan jauh lebih kecil dari jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh Al-Hujjah (minimal 300.000 hadits). Sedangkan jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh Imam Mazhab yang empat, jumlahnya lebih besar dari jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh Al-Hujjah.

Maka bukan berarti beliau, Al-Imam Al-Syafi'i tiada kedatangan sesuatu hadits atau kekurangan hadits bahkan mengesampingkan hadits sampai2 meninggalkannya hanya demi ro'yu (pendapat) nya saja tanpa ada hujjah2 yg lain. Akan tetapi jauh dari itu, yakni: Ulama madzhab mengaris bawahi ucapan A-Syafi'i ini ( In shahhal hadits fahuwa madzhabi ) dengan tafsirannya:

Ay madzhabi mustambathatun minal ahaaditsis shahihah, yakni madzhabku di istinbat dari hadits shahih keseluruhan. Namun selanjutnya : Walaysa kullu ahaaditsis shahiah madzhabi : akan tetapi bukan semuanya akan hadits shahih itu madzhabku, diambil untuk dijadikan dalil hukum istinbatnya karena : Lita'arrudhil adlillah : jika dikompromikan satu hadits dan yg lainnya ada selisih perbedaan pengistinbatannya. Sebab banyak isi satu hadits dengan yg lainnya banyak pertentangan. Kadang ada hadits husus dengan hadits 'am, hadits mubayyan dan mutlak.

Maka dengan itu kiranya salah ada sebagian orang beranggapan bahkan hingga berargumen bahwa Al-Syafi'i itu kekurangan hadits sampai2 mereka meremehkannya.

Dikutip dari uraian para masyayikhil kiram tentang ucapan Imam Al-Syafi'i " IN SHAHHAL HADITS FAHUWA MADZHABI " dengan sanad shohih (langsung didengar dihadapan beliau2, talaqqi.

Hukum Bermadzhab

Diposkan Oleh: Muhtadi Bantan - Diperbarui Pada: Minggu, 02 Maret 2014 Pukul 05.50.00



Hukum Bermadzhab


HUKUM BERMADZHAB

Assalaamu'alaikum Wr. Wb.

Mengenai keberadaan negara kita di Indonesia ini adalah bermadzhabkan syafi'i, demikian guru-guru kita dan guru-guru mereka (para guru), sanad guru mereka jelas hingga Imam syafii, dan sanad mereka (para guru) muttashil menyamung dalam hadits hingga Imam Bukhari, bahkan hingga rasul SAW., bukan seperi orang-orang masa kini yang mengambil ilmu dari buku terjemahan lalu berfatwa untuk memilih madzhab semaunya. 

Jika ada yang berkata dan itu memang benar adanya, bahwa kita mesti menyesuaikan dengan keadaan. Bila kita di Makkah misalnya, maka madzhab disana kebanyakan hanafi, dan di Madinah madzhab kebanyakannya adalah Maliki, selayaknya kita mengikuti madzhab setempat, agar tak menjadi fitnah dan dianggap lain sendiri. Berbeda dengan sebagian muslimin masa kini yang gemar mencari yang aneh dan beda, tak mau ikut jamaah dan cenderung memisahkan diri agar dianggap lebih alim dari yang lain, hal ini adalah dari ketidak fahaman melihat situasi suatu tempat dan kondisi masyarakat.

Lantas mengapa harus bermadzhab.

Memang tidak ada perintah wajib untuk bermadzhab secara shariih. Namun bermadzhab itu wajib hukumnya, karena kaidah syariah adalah “Maalaa yatimmul waajibu illa bihi fahuwa wajib,” yaitu apa yang harus ada sebagai perantara untuk mencapai hal yang wajib, maka hal itu menjadi wajib hukumnya. 

Misalnya kita membeli air, apa hukumnya? Tentunya mubah saja. Namun bila kita akan shalat fardhu tetapi tidak ada air, dan yang ada hanyalah air yang harus dibeli, dan kita punya uang, maka apa hukumnya membeli air? Dari mubah berubah menjadi wajib tentunya, karena perlu untuk shalat yang wajib. 

Demikian pula dalam syariah ini, tidak wajib mengikuti madzhab. Namun karena kita tidak mengetahui samudra syariah seluruh madzhab, dan kita hidup 14 abad setelah wafatnya Rasul saw, maka kita tidak mengenal hukum ibadah kecuali dengan menelusuri fatwa yang ada pada imam-imam muhaddits terdahulu, maka bermadzhab menjadi wajib. 

Karena kita tidak bisa beribadah hal-hal yg fardhu/wajib kecuali dengan mengikuti salah satu madzhab itu, maka bermadzhab menjadi wajib hukumnya.

Pengertian Madzhab
Bermadzhab artinya mengikuti salah satu madzhab. "MADZHAB" itu sendiri artinya aliran atau jalan. Bagi warga yag berakidah Ahlussunahwaljama'ah, ASWAJA kalau tidak mau mengikuti madzhab ia bukan warga ASWAJA. Sebab bagi warga ASWAJA beragama harus memakai dasar Al-Qur'an dan Hadits, tidak sembarangan orang boleh diikuti. 

Para 'alim 'ulama ASWAJA sepakat , imam madzhab yang layak untuk dijadikan sebagai panutan hanya empat Imam Mujtahid dalam fikih. Hal ini berdasarkan pada pengakuan para 'ulama sedunia atas kealiman dan kemampuan empat Imam Mujtahid tsb. Disaping Madzhabnya tertuang dalam literatur banyak kitab dan buku-buku tulisannya, istilahnya mudawwan. Selain dari yang empat ini janganlah dulu kita pakai. Apa sebabnya? Karena walau ada mazhabnya, namun kurang banyak literaturnya.

Kepaa siapa kita ikut Madzhab?
Hanya kepada yang empat saja kita ikuti dalam urusan fikih, furu atau ibadah dan dalam ushul, keimanan kita mengikuti jalur sebagaimana yang di tuangkan oleh Imam Al-Asy'ari dan Imam Al-maturidi, karena sudah sepakat yang empat madzhab.

Empat Imam Mujtahid sebagai Imam Madzhab tersebut adalah:

1. Hanafi, yaitu madzhab Imam Abu Hanifah yang lahir di Kufah iRAK PADA tahun 80 Hijriyah dan meninggal pada tahun 150 Hijriyah.

2. Maliki, Yaitu madzhab Imam Maliki bin Anas yang lahir di Madinah pada tahun 90 Hijriyah dan meninggal pada tahun 179 Hijriyah.

3. Syafi'i, yaitu madzhab Imam As-Syafi'i yang lahir di Ghazzah pada tahun 150 Hijriyah dan meninggal pada tahun204 Hijriyah.

4. Hanbali, yaitu madzhab Imam Ahmad bin Hanbal yang lahir di Marwaz pada tahun 164 Hijriyah dan meninggal pada tahun 241 Hijriyah.

Warga ASWAJA biasanya sangat toleran kepada kaum muslimin yang tidak menerima madzhab-madzhab tsb. Warga ASWAJA sangat menghargai perbedaan pendapat dan menjaga jangan sampai ummat terpecah belah hanya karena perbedaan dalam melakukan syariah yang berkaitan dg soal fiqih.

Jika warga ASWAJA menetapkan harus bermadzhab bukan berarti menutup diri utk berijtihad; hal ini karena bisanya "BARU" taklid atau mengikuti kepada Imam Madzhab. Asumsi semacam itu bagi warga ASWAJA tidaklah dipermasalahkan.

Warga ASWAJA sangat berhati-hati dalam mengambil keputusan, terutama yang berkenaan dengan keputusan hukum-hukum agama.Meraka tidak mau sembarangan dengan hanya mengunggulkan logika semata, namun di samping pertimbangan akal juga harus sesuai dengan ketentuan Al-Qur'an dan Hadits.

Landasan yang digunakan oleh Warga ASWAJA di antaranya:
-----------------------------------------------------------------------

Sabda Rosululloh SAW.:

"Ikutilah ulama karena mereka itu bagai lampu dunia dan lentera akhirat"
(HR. Ad-Dailamy)

"Ulama itu panutan, orang-orang taqwa itu terhormat, bergaul dengan mereka bisa menambah amal."
(HR. Ibnu Najjar dari Annas)

"Ulama itu orang-orang kepercayaan Allah di antara hamba-hamba-NYA"
(hr. Al-Qodho-i dan Ibnu As-Sakir dari Annas)

Termaktub dalam kita Al-Mizan As-Sya'roony:

"Jika tuanku mulia Ali Al-Khowwas ditanya seseorang tentang mengikuti madzhab tertentu di masa sekarang ini apakah wajib atau tidak, maka Beliau menjawab:
"Anda harus mengikuti salah satu madzhab selama anda belum mengetahui inti agama, karena khawatir terjatuh pada kesesatan. "

Termaktub dalam kitab Al-Fataawa Al-Kubro Juz :4 sebagi berikut:

"Bertaklid (mengikuti madzhab) tertentu dari empat imam madzhab lebih karena madzhab mereka telah tersebar luas, sehingga nampak jelas pembatasan hukum yang bersifat muthlaq dan pengecualian hukum yang bersifat umum, berbeda dengan madzhab -madzhab yang lain."

Termaktub dalam kitab Bughyatul Mustarsyidiin:

"Mengikuti madzhab imam lain adalah sulit bagi ulama masa kini, apa lagi kalangan awam. Hendaknya tidak mencari-cari dispensasi dengan mengambil masing-masing madzhab pendapat yang paling ringan, dan tidak boleh menggabungkan antara dua pendapat yang akan menimbulkan suatu kenyataan yangg tidak pernah dinyatakan siapa pun (darikalangan) ulama.
------------------------------------------------------------------------------

Pada intinya seorang muslim tidak diperkenankan mencampur adukkan ajaran-ajaran yang telah disampaikan oleh Empat Imam Madzhab kemudian dipilih yang ringan - ringan saja. berarti BERMADZHAB adalah wajib hukumnya, wujuban syar'iyyan, wajib syara', wajib definisi fikih.

Demikian sekelumit paparan saya tentang mengikuti Madzhab disadur darai beberapa sumber.

Semoga ada manfaatnya.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.