" ليس الجمال بأثواب تزيننا ولكن الجمال بجمال العلم والأدب "

Silahkan cari:
Subscribe:

Ads 468x60px

Hiasan Dunia

Diposkan Oleh: Muhtadi Bantan - Diperbarui Pada: Sabtu, 22 Oktober 2011 Pukul 15.59.00


Rasulullah SAW dalam sabdanya, “Dunia seluruhnya adalah perhiasan, dan perhiasan yang terindah adalah wanita yang shalihah.”
Awal kata dengn Basmalah, Hamdalah serta Shalawat salam pada Rasulillah Shallallahu 'Alaihi wa alihi Wasallam. Amma ba'd. Sudah menjadi bukan rahasia umum lagi seorang pria melebihi wanita dalam berbagai unsur, diawali dari wujud kasar hingga yang halus sehalus-halusnya, Perangainya, watak, prilaku, sifat dan tabiat alami, hanya dipunyai wanita dengan tidak ada sedikitpun pada lelaki secara keseluruhan. Lemah lembut, penuh perasaan, halus dalam tutur sapa, lembut dalam perbuatan, tak dimiliki seorang manusia yang namanya pria.

Segarang-garangnya wanita takkan memenuhi karakter pria dalam tongkrongan fisik, walau dengan ada yag lain seumpama badan kekar bak pria, itu hanya titika nadzir saja, sebab diciptakan demikian, agar ada pembeda dari pria, dimana lemah gemulainya wanita tiada di punyai pria, menjadikan ciri khas yang dimiliki,

Namun perlu di ketahui!

Sepintar apapun wanita, segagah apapun dia, selalu di bawah pria dalam hakikat pangkat dan derajatnya, sesuai dgn

الرجال قوّامون علي النسآء.........الخ

AR RIJALU QOWWAMUNA 'ALAN NISA.......
Pria mengungguli banyak wanita........,QS. Annisa

Akan tetapi tahukah kalian bahwa wanita pula mempunyai sifat lebih dari diri seorang pria. Wanita kuat sendiri saja kemana-mana membawa bukit menjulang dua, sementara pria hanya membawa dua butir telur saja merasa kewalahan hingga harus di bantu.


Ada 10 Bentuk Penghormatan Islam Terhadap Kaum Perempuan

Pertama: Meskipun perempuan tercipta untuk laki-laki, namun perempuan hanya bisa di gauli oleh kaum laki-laki hanya dengan pernikahan yang sah. Islam jelas-jelas melarang segala macam perzinaan dan seks bebas. Hal itu tak lain dalam rangka melindungi kehormatan kaum perempuan dan hak-hak mereka dalam relasi laki-laki dan perempuan. Dengan pernikahan maka nasab (keturunan) akan terpelihara dan terhormat (diakui). Dan dengan pernikahan pula perempuan terlindungi dalam kehidupan sosial, bisa membangun sebuah keluarga dan tidak mudah tercampakkan atau dieksploitasi dengan semau-mau kaum laki-laki.

Kedua: Islam memerintahkan kaum perempuan untuk menutup auratnya (termasuk mengenakan jilbab). Hal ini lebih menunjukkan identitas perempuan muslimah agar tidak mudah dilecehkan, diganggu atau ‘dinikmati’ auratnya oleh setiap mata yang menatap. Dengan jilbab perempuan akan lebih dihormati dan terkesan lebih anggun, jauh dari kesan ‘nakal’. Dengan menutup aurat maka aka tercipta situasi bergaul yang relatif tenang dan kondusif, tidak banyak membuka peluang pikiran kotor kaum laki-laki.

Ketiga: Dalam relasi laki-laki dan perempuan dalam kehidupan rumah tangga, hak-hak kaum perempuan sesuai dengan kewajiban mereka. Kaum laki-laki memiliki hak atas kaum perempuan sebagaimana juga kaum perempuan memiliki hak atas kaum laki-laki. Itulah bentuk nilai-nilai mulia dalam kehidupan berumah tangga. Hak tersebut harus diberikan dengan cara yang baik. Allah SWT berfirman yang artinya:
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf (baik)”QS al-Baqarah: 228.
Keempat: Sebelum Islam datang, hak-hak waris bagi kaum perempuan kerap terabaikan. Dan setelah Islam datang, maka hak waris perempuan menjadi terlindungi dan proporsional. Dengan hukum waris yang ditetapkan oleh Islam, maka kaum perempuan tidak lagi teraniaya sebagaimana yang terjadi di era Jahiliyah. Dalam kehidupan sosial, laki-laki lebih banyak memikul kewajiban dibanding perempuan seperti halnya kewajiban memberi nafkah, membayar mas kawin dalam perkawinan, kewajiban melindungi keamanan keluarga, maka wajar bila bagian waris laki-laki relatif lebih banyak dari pada perempuan. Islam memberikan tuntunan yang proporsional berdasarkan kemaslahatan bersama.

Kelima: Islam mewajibkan perlakuan adil laki-laki terhadap perempuan. Keadilan mutlak dibutuhkan dalam rangka membangun hubungan rumah tangga yang harmonis dan tentram. Jika kebetulan kaum laki-laki berpoligami, maka keadilan dalam nafkah, menggauli, menyediakan sarana dan mengajak bepergian merupakan kewajiban yang harus benar-benar diperhatikan. Sangat dicela oleh agama maupun sosial manakala pelaku poligami melanggar kode etik tersebut. Jika Anda tidak sanggup berlaku adil pada para isteri maka bahagiakan saja diri Anda dengan hanya satu isteri.

Keenam: Islam tidak membolehkan laki-laki memaksakan kehendak kepada perempuan (yang ditinggal mati suaminya) untuk serta merta dijadikan isterinya. Janda dari orang lain tidak boleh kita ‘waris’ sehingga kita menikahi mereka dengan paksa. Islam sangat menjunjung tinggi hak-hak janda sehingga kewenangan menikah ada pada tangan janda itu sendiri, bukan pada walinya. Jika wali seorang gadis sah-sah saja menikahkan dengan ‘paksa’ anak gadisnya, maka hak wali tersebut tidak berlaku kepada para janda. Kaum laki-laki (suami) juga berkewajiban menggauli isterinya dengan baik, seperti; memberikan nafkah dengan wajar, memperlakukan dengan lemah lembut dan sebagainya. Allah SWT berfirman yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu memusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka dengan secara patut” QS an-Nisaa’: 19.
Ketujuh: Diharamkannya suami melakukan dhihar dan ilaa’. Dhihar adalah ucapan suami kepada isteri yang berisi penyamaan isterinya dengan ibunya si suami atau salah satu mahramnya. Sedangkan ilaa’ adalah pernyataan sumpah si suami untuk tidak menggauli (melakukan hubungan badan) dengan isterinya. Kedua hal tersebut dilarang oleh agama karena keduanya merupakan perbuatan tidak etis (munkar) dan berpotensi mengganggu keharmonisan hubungan suami-isteri. Artinya, si isteri tidak digauli tidak pula diceraikan. Itu merupakan bentuk perlakuan semena-mena dan membuat derita kepada isteri.

Islam tidak tanggung-tanggung dalam memberikan sanksi atas orang yang melakukan kedua hal itu. Dalam ilaa’ maka si suami harus mengambil resiko menunggu masa 4 bulan, lalu baru bisa kembali menggauli isterinya dengan cara membayar kafarat-nya sumpah atau dengan menceraikan isterinya tersebut. Sedangkan sanksi untuk orang yang melakukan dhihar adalah dengan cara memerdekakan budak, jika tidak menemukan, maka harus berpuasa selama 2 bulan berturut-turut, dan jika tidak mampu maka harus memberi makan 60 orang miskin. Dengan begitu maka kaum laki-laki tidak akan sembarangan memperlakukan kaum perempuan.

Kedelapan: Diberlakukannya hukum-hukum rukhshah (dispensasi) bagi kaum perempuan dalam hal-hal tertentu dan kondisi-kondisi tertentu. Perempuan tidak boleh di bunuh dalam peperangan, dan tidak pula diwajibkan ikut berperang di medan tempur. Dalam masa-masa menstruasi perempuan tidak dikenakan wajib shalat, tidak boleh dijamah (disetubuhi) oleh suami dan tidak wajib berpuasa di hari itu. Perempuan tidak wajib mencari nafkah selagi ada suami.

Kesembilan: Tidak adanya dikotomi antara kaum perempuan dan kaum laki-laki dalam hal pahala amal dan ibadah. Tidak adanya pembedaan dalam status kehambaannya di hadapan Allah. Allah SWT berfirman yang artinya:
“SesungguhnyaAku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal diantara kamu, baik laki-laki atau perempuan, sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain”. QS Ali Imran : 195.
Kesepuluh: Dalam al-Qur’an ada satu surat dengan nama an-Nisaa’ (Wanita). Surah ini terdiri atas 167 ayat, Ayat pertama sampai dengan 35 mengupas tuntas masalah-masalah wanita, khususnya menyangkut relasinya dengan kaum laki-laki. Begitu pula pada ayat 167.

Disamping surah an-Nisaa’ masih ada lagi surah-surah lain yang mengupas masalah wanita seperti surah al-Mujadilah, ath-Thalaq, dan al-Mumtahanah. Ini semua merupakan bentuk penghormatan al-Qur’an terhadap kaum wanita.

Sebenarnya masih banyak bentuk penghormatan Islam terhadap kaum wanita, namun catatan ringkas ini tidak mungkin menjabarkan semuanya. Kepada kaum perempuan Muslimah tidak perlu Anda merasa rendah diri karena menjadi perempuan Muslimah, meskipun Anda tidak pernah terekspos dalam pentas global sebagaimana para selebriti kelas dunia maupun para kontestan kontes-kontes kecantikan. Percayalah bahwa Allah SWT telah memberikan penghargaan tiada ternilai kepada para perempuan shalihah, baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Majalah Cahaya Nabawiy, Edisi No.57 Th. V Dzulhijjah 1428 H / Januari 2007 M.

Nama-Nama Ahli Badar Al-Kubro

Diposkan Oleh: Muhtadi Bantan - Diperbarui Pada: Selasa, 20 September 2011 Pukul 21.45.00



  1. Sayyiduna Muhammad Rasulullah S.A.W. 
  2. Abu Bakar al-Siddiq r.a. 
  3. Umar bin al-Khattab r.a. 
  4. 'Utsman bin Affan r.a. 
  5. Ali bin Abu Tolib r.a. 
  6. Talhah bin ‘'Ubaidillah r.a. 
  7. Bilal bin Rabbah r.a. 
  8. Hamzah bin Abdul Muttolib r.a. 
  9. Abdullah bin Jahsyi r.a. 
  10. Al-Zubair bin al-'Awwam r.a. 
  11. Mus’ab bin 'Umair bin Hasyim r.a. 
  12. Abdur Rahman bin ‘Auf r.a. 
  13. Abdullah bin Mas’ud r.a. 
  14. Sa’ad bin Abi Waqqas r.a. 
  15. Abu Kabsyah al-Faris r.a. 
  16. Anasah al-Habsyi r.a. 
  17. Zaid bin Haritsah al-Kalbi r.a. 
  18. Martsad bin Abi Martsad al-Ghanawi r.a. 
  19. Abu Martsad al-Ghanawi r.a. 
  20. Al-Husain bin al-Harits bin Abdul Muttolib r.a. 
  21. ‘'Ubaidah bin al-Harits bin Abdul Muttolib r.a. 
  22. Al-Tufail bin al-Harits bin Abdul Muttolib r.a. 
  23. Mistah bin Usasah bin ‘Ubbad bin Abdul Muttolib r.a. 
  24. Abu Huzaifah bin ‘'Utbah bin Rabi’ah r.a. 
  25. Subaih (maula Abi ‘Asi bin Umaiyyah) r.a. 
  26. Salim (maula Abu Huzaifah) r.a. 
  27. Sinan bin Muhsin r.a. 
  28. ‘Ukasyah bin Muhsin r.a. 
  29. Sinan bin Abi Sinan r.a. 
  30. Abu Sinan bin Muhsin r.a. 
  31. Syuja’ bin Wahab r.a. 
  32. ‘'Utbah bin Wahab r.a. 
  33. Yazid bin Ruqais r.a. 
  34. Muhriz bin Nadhlah r.a. 
  35. Rabi’ah bin Aksam r.a. 
  36. Tsaqfu bin 'Amir r.a. 
  37. Malik bin 'Amir r.a. 
  38. Mudlij bin 'Amir r.a. 
  39. Abu Makhsyi Suwaid bin Makhsyi al- To’i r.a. 
  40. ‘'Utbah bin Ghazwan r.a. 
  41. Khabbab (maula ‘'Utbah bin Ghazwan) r.a. 
  42. Hathib bin Abi Balta’ah al-Lakhmi r.a. 
  43. Sa’ad al-Kalbi (maula Hathib) r.a. 
  44. Suwaibit bin Sa’ad bin Harmalah r.a. 
  45. 'Umair bin Abi Waqqas r.a. 
  46. Al-Miqdad bin 'Amru r.a. 
  47. Mas’ud bin Rabi’ah r.a. 
  48. Zus Syimalain 'Amru bin 'Amru r.a. 
  49. Khabbab bin al-Arat al-Tamimi r.a. 
  50. 'Amir bin Fuhairah r.a. 
  51. Suhaib bin Sinan r.a. 
  52. Abu Salamah bin Abdul Asad r.a. 
  53. Syammas bin 'Utsman r.a. 
  54. Al-Arqam bin Abi al-Arqam r.a. 
  55. 'Ammar bin Yasir r.a. 
  56. Mu’attib bin ‘Auf al-Khuza’i r.a. 
  57. Zaid bin al- Khattab r.a. 
  58. 'Amru bin Suraqah r.a. 
  59. Abdullah bin Suraqah r.a. 
  60. Sa’id bin Zaid bin 'Amru r.a. 
  61. Mihja bin Akk (maula Umar bin al-Khattab) r.a. 
  62. Waqid bin Abdullah al-Tamimi r.a. 
  63. Khauli bin Abi Khauli al-Ijli r.a. 
  64. Malik bin Abi Khauli al-Ijli r.a. 
  65. 'Amir bin Rabi’ah r.a. 
  66. 'Amir bin al-Bukair r.a. 
  67. Aqil bin al-Bukair r.a. 
  68. Khalid bin al-Bukair r.a. 
  69. Iyas bin al-Bukair r.a. 
  70. 'Utsman bin Maz’un r.a. 
  71. Qudamah bin Maz’un r.a. 
  72. Abdullah bin Maz’un r.a. 
  73. Al-Saib bin 'Utsman bin Maz’un r.a. 
  74. Ma’mar bin al-Harits r.a. 
  75. Khunais bin Huzafah r.a. 
  76. Abu Sabrah bin Abi Ruhm r.a. 
  77. Abdullah bin Makhramah r.a. 
  78. Abdullah bin Suhail bin 'Amru r.a. 
  79. Wahab bin Sa’ad bin Abi Sarah r.a. 
  80. Hatib bin 'Amru r.a. 
  81. 'Umair bin Auf r.a. 
  82. Sa’ad bin Khaulah r.a. 
  83. Abu 'Ubaidah 'Amir al-Jarah r.a. 
  84. 'Amru bin al- Harits r.a. 
  85. Suhail bin Wahab bin Rabi’ah r.a. 
  86. Safwan bin Wahab r.a. 
  87. 'Amru bin Abi Sarah bin Rabi’ah r.a. 
  88. Sa’ad bin Mu'adz r.a. 
  89. 'Amru bin Mu'adz r.a. 
  90. Al-Harits bin Aus r.a. 
  91. Al-Harits bin Anas r.a. 
  92. Sa’ad bin Zaid bin Malik r.a. 
  93. Salamah bin Salamah bin Waqsyi r.a. 
  94. ‘Ubbad bin Waqsyi r.a. 
  95. Salamah bin Tsabit bin Waqsyi r.a. 
  96. Rafi’ bin Yazid bin Kurz r.a. 
  97. Al-Harits bin Khazamah bin ‘'Adi r.a. 
  98. Muhammad bin Maslamah al-Khazraj r.a. 
  99. Salamah bin Aslam bin Harits r.a. 
  100. Abul Haitsam bin al-Tayyihan r.a. 
  101. 'Ubaid bin Tayyihan r.a. 
  102. Abdullah bin Sahl r.a. 
  103. Qatadah bin Nu’man bin Zaid r.a. 
  104. 'Ubaid bin Aus r.a. 
  105. Nasr bin al-Harits bin ‘Abd r.a. 
  106. Mu’attib bin 'Ubaid r.a. 
  107. Abdullah bin Thariq al-Ba’lawi r.a. 
  108. Mas’ud bin Sa’ad r.a. 
  109. Abu Absi Jabr bin 'Amru r.a. 
  110. Abu Burdah Hani bin Niyyar al-Ba’lawi r.a. 
  111. 'Ashim bin Tsabit bin Abi al-Aqlah r.a. 
  112. Mu’attib bin Qusyair bin Mulail r.a. 
  113. Abu Mulail bin al-Az’ar bin Zaid r.a. 
  114. 'Umair bin Mab’ad bin al-Az’ar r.a. 
  115. Sahl bin Hunaif bin Wahib r.a. 
  116. Abu Lubabah Basyir bin Abdul Mundzir r.a. 
  117. Mubasyir bin Abdul Mundzir r.a. 
  118. Rifa’ah bin Abdul Mundzir r.a. 
  119. Sa’ad bin 'Ubaid bin al-Nu’man r.a. 
  120. ‘Uwaim bin Sa’dah bin ‘Aisy r.a. 
  121. Rafi’ bin Anjadah r.a. 
  122. 'Ubaidah bin Abi ‘'Ubaid r.a. 
  123. Tsa’labah bin Hatib r.a. 
  124. Unais bin Qatadah bin Rabi’ah r.a. 
  125. Ma’ni bin 'Adi al-Ba’lawi r.a. 
  126. Tsabit bin Akhram al-Ba’lawi r.a. 
  127. Zaid bin Aslam bin Tsa’labah al- Ba’lawi r.a. 
  128. Rib’ie bin Rafi’ al-Ba’lawi r.a. 
  129. 'Ashim bin 'Adi al-Ba’lawi r.a. 
  130. Jubr bin ‘Atiq r.a. 
  131. Malik bin Numailah al-Muzani r.a. 
  132. Al-Nu’man bin ‘Asr al-Ba’lawi r.a. 
  133. Abdullah bin Zubair r.a. 
  134. 'Ashim bin Qais bin Tsabit r.a. 
  135. Abu Dhayyah bin Tsabit bin al-Nu’man r.a. 
  136. Abu Hayyah bin Tsabit bin al-Nu’man r.a. 
  137. Salim bin 'Amir bin Tsabit r.a. 
  138. Al-Harits bin al-Nu’man bin Umayyah r.a. 
  139. Khawwat bin Zubair bin al-Nu’man r.a. 
  140. Al-Mundzir bin Muhammad bin ‘Uqbah r.a. 
  141. Abu ‘Uqail bin Abdullah bin Tsa’labah r.a. 
  142. Sa’ad bin Khaitsamah r.a. 
  143. Mundzir bin Qudamah bin Arfajah r.a. 
  144. Tamim (maula Sa’ad bin Khaitsamah) r.a. 
  145. Al-Harits bin Arfajah r.a. 
  146. Kharijah bin Zaid bin Abi Zuhair r.a. 
  147. Sa’ad bin al- Rabi’ bin 'Amru r.a. 
  148. Abdullah bin Rawahah r.a. 
  149. Khallad bin Suwaid bin Tsa’labah r.a. 
  150. Basyir bin Sa’ad bin Tsa’labah r.a. 
  151. Sima’ bin Sa’ad bin Tsa’labah r.a. 
  152. Subai bin Qais bin ‘Isyah r.a. 
  153. ‘Ubbad bin Qais bin ‘Isyah r.a. 
  154. Abdullah bin Abbas r.a. 
  155. Yazid bin al-Harits bin Qais r.a. 
  156. Khubaib bin Isaf bin ‘'Atabah r.a. 
  157. Abdullah bin Zaid bin Tsa’labah r.a. 
  158. Huraits bin Zaid bin Tsa’labah r.a. 
  159. Sufyan bin Bisyr bin 'Amru r.a. 
  160. Tamim bin Ya’ar bin Qais r.a. 
  161. Abdullah bin 'Umair r.a. 
  162. Zaid bin al-Marini bin Qais r.a. 
  163. Abdullah bin ‘Urfutah r.a. 
  164. Abdullah bin Rabi’ bin Qais r.a. 
  165. Abdullah bin Abdullah bin Ubai r.a. 
  166. Aus bin Khauli bin Abdullah r.a. 
  167. Zaid bin Wadi’ah bin 'Amru r.a. 
  168. ‘Uqbah bin Wahab bin Kaladah r.a. 
  169. Rifa’ah bin 'Amru bin 'Amru bin Zaid r.a. 
  170. 'Amir bin Salamah r.a. 
  171. Abu Khamishah Ma’bad bin Ubbad r.a. 
  172. 'Amir bin al- Bukair r.a. 
  173. Naufal bin Abdullah bin Nadhlah r.a. 
  174. ‘Utban bin Malik bin 'Amru bin al-Ajlan r.a. 
  175. ‘'Ubadah bin al-Shomit r.a. 
  176. Aus bin al-Shomit r.a. 
  177. Al-Nu’man bin Malik bin Tsa’labah r.a. 
  178. Tsabit bin Huzal bin 'Amru bin Qarbus r.a. 
  179. Malik bin Dukhsyum bin Mirdhakhah r.a. 
  180. Al-Rabi’ bin Iyas bin 'Amru bin Ghanam r.a. 
  181. Waraqah bin Iyas bin Ghanam r.a. 
  182. 'Amru bin Iyas r.a. 
  183. Al-Mujazzar bin Ziyad bin 'Amru r.a. 
  184. ‘'Ubadah bin al-Khasykhasy r.a. 
  185. Nahhab bin Tsa’labah bin Khazamah r.a. 
  186. Abdullah bin Tsa’labah bin Khazamah r.a. 
  187. 'Utbah bin Rabi’ah bin Khalid r.a. 
  188. Abu Dujanah Sima’ bin Kharasyah r.a. 
  189. Al-Mundzir bin 'Amru bin Khunais r.a. 
  190. Abu Usaid bin Malik bin Rabi’ah r.a. 
  191. Malik bin Mas’ud bin al-Badan r.a. 
  192. Abu Rabbihi bin Haqqi bin Aus r.a. 
  193. Ka’ab bin Humar al-Juhani r.a. 
  194. Dhamrah bin 'Amru r.a. 
  195. Ziyad bin 'Amru r.a. 
  196. Basbas bin 'Amru r.a. 
  197. Abdullah bin 'Amir al-Ba’lawi r.a. 
  198. Khirasy bin al-Shimmah bin 'Amru r.a. 
  199. Al-Hubab bin al-Mundzir bin al-Jamuh r.a. 
  200. 'Umair bin al- Humam bin al-Jamuh r.a. 
  201. Tamim (maula Khirasy bin al-Shimmah) r.a. 
  202. Abdullah bin 'Amru bin Haram r.a. 
  203. Mu'adz bin 'Amru bin al-Jamuh r.a. 
  204. Mu’awwiz bin 'Amru bin al-Jamuh r.a. 
  205. Khallad bin 'Amru bin al-Jamuh r.a. 
  206. ‘Uqbah bin 'Amir bin Nabi bin Zaid r.a. 
  207. Hubaib bin Aswad r.a. 
  208. Tsabit bin al- Jiz’i r.a. 
  209. 'Umair bin al- Harits bin Labdah r.a. 
  210. Basyir bin al- Barra’ bin Ma’mur r.a. 
  211. Al-Tufail bin al-Nu’man bin Khansa’ r.a. 
  212. Sinan bin Saifi bin Sakhr bin Khansa’ r.a. 
  213. Abdullah bin al-Jaddi bin Qais r.a. 
  214. 'Atabah bin Abdullah bin Sakhr r.a. 
  215. Jabbar bin Umaiyah bin Sakhr r.a. 
  216. Kharijah bin Humayyir al-Asyja’i r.a. 
  217. Abdullah bin Humayyir al-Asyja’i r.a. 
  218. Yazid bin al- Mundzir bin Sahr r.a. 
  219. Ma’qil bin al-Mundzir bin Sahr r.a. 
  220. Abdullah bin al-Nu’man bin Baldumah r.a. 
  221. Al-Dhahlak bin Haritsah bin Zaid r.a. 
  222. Sawad bin Razni bin Zaid r.a. 
  223. Ma’bad bin Qais bin Sakhr bin Haram r.a. 
  224. Abdullah bin Qais bin Sakhr bin Haram r.a. 
  225. Abdullah bin Abdi Manaf r.a. 
  226. Jabir bin Abdullah bin Riab r.a. 
  227. Khulaidah bin Qais bin al-Nu’man r.a. 
  228. An-Nu’man bin Yasar r.a. 
  229. Abu al- Mundzir Yazid bin 'Amir r.a. 
  230. Qutbah bin 'Amir bin Hadidah r.a. 
  231. Sulaim bin 'Amru bin Hadidah r.a. 
  232. Antarah (maula Qutbah bin 'Amir) r.a. 
  233. Abbas bin 'Amir bin 'Adi r.a. 
  234. Abul Yasar Ka’ab bin 'Amru bin 'Abbad r.a. 
  235. Sahl bin Qais bin Abi Ka’ab bin al-Qais r.a. 
  236. 'Amru bin Talqi bin Zaid bin Umaiyah r.a. 
  237. Mu'adz bin Jabal bin 'Amru bin Aus r.a. 
  238. Qais bin Mihshan bin Khalid r.a. 
  239. Abu Khalid al-Harits bin Qais bin Khalid r.a. 
  240. Zubair bin Iyas bin Khalid r.a. 
  241. Abu 'Ubadah Sa’ad bin 'Utsman r.a. 
  242. ‘Uqbah bin 'Utsman bin Khaladah r.a. 
  243. 'Ubadah bin Qais bin 'Amir bin Khalid r.a. 
  244. As’ad bin Yazid bin al-Fakih r.a. 
  245. Al-Fakih bin Bisyr r.a. 
  246. Zakwan bin Abdu Qais bin Khaladah r.a. 
  247. Mu'adz bin Ma’ish bin Qais bin Khaladah r.a. 
  248. 'Aiz bin Ma’ish bin Qais bin Khaladah r.a. 
  249. Mas’ud bin Qais bin Khaladah r.a. 
  250. Rifa’ah bin Rafi’ bin al-'Ajalan r.a. 
  251. Khallad bin Rafi’ bin al-'Ajalan r.a. 
  252. 'Ubaid bin Yazid bin 'Amir bin al-'Ajalan r.a. 
  253. Ziyad bin Lubaid bin Tsa’labah r.a. 
  254. Khalid bin Qais bin al-'Ajalan r.a. 
  255. Rujailah bin Tsa’labah bin Khalid r.a. 
  256. 'Athiyyah bin Nuwairah bin 'Amir r.a. 
  257. Khalifah bin 'Adi bin 'Amru r.a. 
  258. Rafi’ bin al-Mu’alla bin Luzan r.a. 
  259. Abu Ayyub bin Khalid al-Ansari r.a. 
  260. Tsabit bin Khalid bin al-Nu’man r.a. 
  261. ‘Umarah bin Hazmi bin Zaid r.a. 
  262. Suraqah bin Ka’ab bin Abdul 'Uzza r.a. 
  263. Suhail bin Rafi’ bin Abi 'Amru r.a. 
  264. 'Adi bin Abi al-Zaghba’ al-Juhani r.a. 
  265. Mas’ud bin Aus bin Zaid r.a. 
  266. Abu Khuzaimah bin Aus bin Zaid r.a. 
  267. Rafi’ bin al-Harits bin Sawad bin Zaid r.a. 
  268. Auf bin al-Harits bin Rifa’ah r.a. 
  269. Mu’awwaz bin al-Harits bin Rifa’ah r.a. 
  270. Mu'adz bin al-Harits bin Rifa’ah r.a. 
  271. An-Nu’man bin 'Amru bin Rifa’ah r.a. 
  272. Abdullah bin Qais bin Khalid r.a. 
  273. Wadi’ah bin 'Amru al-Juhani r.a. 
  274. Ishmah al-Asyja’i r.a. 
  275. Tsabit bin 'Amru bin Zaid bin 'Adi r.a. 
  276. Sahl bin ‘Atiq bin al-Nu’man r.a. 
  277. Tsa’labah bin 'Amru bin Mihshan r.a. 
  278. Al-Harits bin al-Shimmah bin 'Amru r.a. 
  279. Ubai bin Ka’ab bin Qais r.a. 
  280. Anas bin Mu'adz bin Anas bin Qais r.a. 
  281. Aus bin Tsabit bin al-Mundzir bin Haram r.a. 
  282. Abu Syeikh bin Ubai bin Tsabit r.a. 
  283. Abu Tolhah bin Zaid bin Sahl r.a. 
  284. Abu Syeikh Ubai bin Tsabit r.a. 
  285. Haritsah bin Suraqah bin al-Harits r.a. 
  286. 'Amru bin Tsa’labah bin Wahb bin 'Adi r.a. 
  287. Salit bin Qais bin 'Amru bin ‘Atiq r.a. 
  288. Abu Salit bin Usairah bin 'Amru r.a. 
  289. Tsabit bin Khansa’ bin 'Amru bin Malik r.a. 
  290. 'Amir bin Umaiyyah bin Zaid r.a. 
  291. Muhriz bin 'Amir bin Malik r.a. 
  292. Sawad bin Ghaziyyah r.a. 
  293. Abu Zaid Qais bin Sakan r.a. 
  294. Abul A’war bin al-Harits bin Zalim r.a. 
  295. Sulaim bin Milhan r.a. 
  296. Haram bin Milhan r.a. 
  297. Qais bin Abi Sha’sha’ah r.a. 
  298. Abdullah bin Ka’ab bin 'Amru r.a. 
  299. ‘Ishmah al-Asadi r.a. 
  300. Abu Daud 'Umair bin 'Amir bin Malik r.a. 
  301. Suraqah bin 'Amru bin 'Athiyyah r.a. 
  302. Qais bin Mukhallad bin Tsa’labah r.a. 
  303. Al-Nu’man bin Abdi 'Amru bin Mas’ud r.a. 
  304. Al-Dhahhak bin Abdi 'Amru r.a. 
  305. Sulaim bin al-Harits bin Tsa’labah r.a. 
  306. Jabir bin Khalid bin Mas’ud r.a. 
  307. Sa’ad bin Suhail bin Abdul Asyhal r.a. 
  308. Ka’ab bin Zaid bin Qais r.a. 
  309. Bujir bin Abi Bujir al-'Abbasi r.a. 
  310. ‘Itban bin Malik bin 'Amru al- 'Ajalan r.a. 
  311. ‘Ishmah bin al-Hushain bin Wabarah r.a. 
  312. Hilal bin al-Mu’alla al-Khazraj r.a. 
  313. Oleh bin Syuqrat r.a. (khadam Nabi s.a.w.) 


Para Penghuni Surga

Diposkan Oleh: Muhtadi Bantan - Diperbarui Pada: Jumat, 20 Mei 2011 Pukul 05.47.00



PARA PENGHUNI SURGA
Telah di sabdakan Rosululloh shollallohu 'alaihi wa alihi wa shohbihi wasallam: bahwa seorang penghuni surga akan selalu di beri kemudahan untuk melakukan kebaikan.

Itu sebabnya yang membuat mereka tiada sungkan melakukan hal yang membuat diri mereka termasuk ahli surga, sesuai dengan hadits qudsi;

كلّ ميسّر لما خلق

"KULLUN MUYASSARUN LIMA KHULIQO"

"semua di mudahkan dgn keistimewaan masing=masing",

Istimewa di sini ialah perbuatan-perbuatan yang dirinya merasa mudah atau
gampang sekali mengamalkan apa yang telah dia peroleh, terlebih keistimewaan ini menjadi watak dan tabiat atas perilaku sehari=hari.

Bagaimana tidak bahagianya orang yang telah di berikan hidayah dan terbuka hati mengamalkan setiap yang bisa membuat dia menjadi calon ahli surga, dengan begitu, keahlian calon penghuni surga teramat beda dari kebanyakan, entah sekedar tadarus al-qur`an beberapa kali khatam satu hari, ada juga di tempuh hanya dengan sholat sunah tiap hari 500 raka'at, bisa juga dengan melakukan pelayanan pada ummat sekedar memberi petuah-petuah dan wejangan-wejangan agama dan memberikan tafaqquh fiddin (mendalami ilmu agama), bisa pula dengan berpuasa sunah saja tanpa henti, ada yang mengamalkan sholawat, berdzikir ribuan kali, dan bisa juga di tempuh dengan hanya pergi ke hutan mencari seikat kayu bakar lalu di jual ke pasar hasilnya di sedekahkan, malah ada yang hanya membantu seorang 'alim saja (ngakhodam; sunda), atau ahli ibadah sekedar membantu kebutuhannya dalam mengembangkan ilmu dan peribadatan,

Alhasil, jalan untuk menempuh jalan 'piakherateun' itu banyak, tergantung bagaimana 'angleh'nya saja, mudah melakukan, karik kadaek, Allohu a'lamu bisshowab.

Pengenalan Kepada Tuhan

Diposkan Oleh: Muhtadi Bantan - Diperbarui Pada: Minggu, 15 Mei 2011 Pukul 17.23.00



Mengenal diri sendiri akan mengenal Tuhannya


"Siapa yg mengenal diri sendiri maka akan mengenal Tuhannya......"

Itulah sebaris ungkapan yang banyak sekali makna terkandung di dalamnya, kita di suguhkan untuk pengenalan diri tuk sendiri bukan buat orang lain.

Maka siapakah saya?

Saya berujud manusia dan perwujudan ini merupakan wujud kasar yaitu tubuh. Keberadaan tubuh mempunyai ciri, dan ciri inilah merupakan ciri dari keterbatasan, sebab tubuh manusia tiap detik, menit, jam dan seterusnya. mengalami perubahan dari tiada ke ada, dari gerak ke diam, (salah satu sifat benda). Sejak dari sebelum di lahirkan bunda, hingga sekarang, dan sekarang melakukan berbagai kegiatan, pekerjaan dan berbagai aktifitas, maka pekerjaan dan melakukan aktifitas ini tiada keluar dari unsur gerak atau diam.

Bila tubuh manusia mengalami diam maka dia tak bergerak dan begitu juga kala gerak maka diamnya tiada, maka sebagai konsekwensi tubuh kedapatan gerak atau diam ini, berarti manusia mempunyai keterbatasan diri, TERBATAS bukan tak terbatas, sebabnya mengalami perobahan dari ada ke tiada, dari diam ke gerak, dari gerak ke diam, dan otomatis tubuh manusia namanya BARU, ada mulanya ada awalnya, keberadaanya sah2 saja bukan kepastian, bukan HARUS ADA, bukan wajib ada.

Sebagai perkara baru ya'ni ada mulanya, ada awalnya, manusia membutuhkan penciptanya, perlu pembuatnya. Maka siapakah pembuatnya?

Pembuatnya harus mempunya ciri TAK TERBATAS, TIADA BERUBAH, maka pencipta ini, harus tak bermula, tiada membutuhkan kepada yang lainnya. Berarti adanya ADA PASTI, (wajib ada), adanya TAK BERMULA, adanya TAK BERAKHIR.

PASTI ADA berarti tiada matinya, tiada ruksaknya dan tak mengalami perubahan. Dari dulu 'tak bermula adanya' hingga tak ada akhirnya, pencipta tetap begitu keadaannya. Sebelum menciptakan langit bumi, pencipta tetap dalam keadaannya, dan setelah menciptakan singgasananya pun, tak mengalami perubahan, tidak duduk, tak bersemayam. Kalau berpindah keadaan, sama halnya pencipta mengalami perubahan dan keterbatasan, maka itu mustahil, tak bisa di terima akal yang sehat.