" ليس الجمال بأثواب تزيننا ولكن الجمال بجمال العلم والأدب "

Silahkan cari:
Subscribe:

Ads 468x60px

Tatacara Mengerjakan Sholat Witir

Diposkan Oleh: Muhtadi Bantan - Diperbarui Pada: Kamis, 26 Desember 2013 Pukul 02.26.00


Tatacara Mengerjakan Sholat Witir.

Sholat Witir dikerjakan setelah sholat 'isya dan waktunyapun setelah sholat 'isya pula. Adapun raka'atnya merupakan bilangan ganjil dimulai dari hanya satu raka'at, tiga raka'at hingga sebelas raka'at. Tiada yang lebih dari hanya sebelas raka'at.

Pelaksanaannya tiada yang berbeda dalam tiap raka'at, hanya bila lebih dari satu raka'at, maka, dalam setiap dua raka'at bisa diselingi salam maupun tidak deselingi salam.

Semua pekerjaan sholat witir dalam tiap raka'atnya sama dalam bacaan dan dan tatalaksananya. Akan tetapi dalam raka'at tiga yang terakhir, bacaanya disunahkan membaca surat Sabbihis di raka'at pertama dan yang kedua sunah membaca surat Al-Kafirun. Raka'at akhirnya yakni yang satu raka'at lagi, bacaanya sunah membaca tiga surat yakni; surat al-Ikhlash, Al-Falaq dan An-Nas (Falaq Binnas).

Perlu diingat bahwa, bila menghendaki untuk mengerjakan sholat witir hanya tiga raka'at. Maka, pengerjaanya jangan seperti sholat Maghrib, sekaligus tiga raka'at. Akan tetapi harus dua kali salam. Salam pertama didua raka'atnya yang pertama dan salam kedua disatu raka'atnya yang terakhir.

Pelaksanaanya yang harus dikerjakan bila hanya sholat witir satu raka'at saja yaitu:
1) Berniat di dalam hati untuk mengerjakan sholat Witir
2) Takbiratul Ihram
3) Doa Iftitah
4) Membaca surah al-Fatihah
5) Membaca Surah al-Qur’an
6) Ruku'
7) I'tidal
8) Sujud
9) Duduk antara dua sujud
10) Sujud yang kedua
11) Duduk untuk tahiyyat akhir
12) Memberi salam ke kanan dan ke kiri


Sholat Witir dengan tiga raka'at. Tatacara perlaksanaannya ada dua :

1. Mengerjakan dua raka'at terlebih dahulu dan salam. Setelah itu didirikan satu lagi raka'at secara biasa dan salam. Dalilnya adalah riwayat daripada Nafi’:

أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يُسَلِّمُ بَيْنَ الرَّكْعَةِ وَالرَّكْعَتَيْنِ فِي الْوِتْرِ.

Yang artinya :

Bahawa ‘Abdullah bin ‘Umar mengucapkan salam antara satu raka'at dan dua raka'at dalam sholat Witir. – Hadith Riwayat Imam al-Bukhari dalam Shahihnya, Kitab al-Witr, no 991.

* Tatacara mengerjakannya

Raka'at pertama dua raka'at

1) Berniat di dalam hati untuk mengerjakan sholat Witir
2) Takbiratul Ihram
3) Doa Iftitah
4) Membaca surah al-Fatihah
5) Membaca Surah al-Qur’an (dianjurkan membaca surat Sabbihis dalam raka'at pertama dan surat A-Kafirun yakni Qulya diraka'at yang keduanya)
6) Ruku'
7) I'tidal
8) Sujud
9) Duduk antara dua sujud
10) Sujud yang kedua
11) Bangun untuk raka'at kedua

Raka'at Kedua

1) Ulang seperti raka'at pada pertama dari nombor (4) hingga (10)
2) Duduk untuk tahiyyat akhir
3) Memberi salam kanan dan kiri dan bagun untuk mengerjakan raka'at terakhir

Raka'at Ketiga yakni hanya satu raka'at.

1) Berniat di dalam hati untuk mengerjakan sholat Witir
2) Takbiratul Ihram
3) Doa Iftitah
4) Membaca surah al-Fatihah
5) Membaca Surah al-Qur’an (dianjurkan membaca tiga surat; Al-Ikhlash, Al-Falaq dan An-Nas)
6) Ruku'
7) I'tidal
8) Sujud
9) Duduk antara dua sujud
10) Sujud yang kedua
11) Duduk untuk tahiyyat akhir
12) Memberi salam ke kanan dan ke kiri

Demikian tatacara pelaksanaan sholat witir, semoga bermanfaat.

Islam, Agama Penuh Cinta Kasih

Diposkan Oleh: Muhtadi Bantan - Diperbarui Pada: Pukul 01.42.00



Islam Agama Penuh Cinta Kasih


Bismillaah... 

Islam yg rohmatan lil'alamiin, adalah ajaran yg membawa kebaikan untuk seluruh makhluk Allah di muka bumi ini 

Islam bukanlah ajaran yg hanya rohmatan lilmu'minin atau rohmatan lilmuslimiin 

Bukti Islam rohmatan lil'alamiin:
1. Dalam Islam dilarang memaksakan agama/keyakinan, karena jika agama hanya berdasarkan pemaksaan, maka seseorang tidak akan pernah bisa menemukan/mengenal "Allah" Memang siapapun yg beribadah hanya karena terpaksa, maka yg didapat hanya lelah semata, tidak ada perubahan dalam dirinya setelah ibadah yg telah dilakukannya.

2. Dalam Islam dilarang menghina agama lain, dilarang menghina Tuhan agama lain, karena siapapun yg menghina agama lain atau menghina Tuhan agama lain, sebenarnya dia menghina Islam dan menghina Allah Ta'ala.

3. Dalam Islam diajarkan dakwah dg bijaksana dan tutur kata yg bagus, dan dakwah hanyalah peringatan/nasehat bukan memaksakan, karena hidayah itu mutlak dalam Kuasa Allah Ta'ala, bukan dalam kuasa manusia.

4. Dalam Islam, tidak bisa disebut sbg orang yg benar2 beragama, jika dia selalu menghasud, menebar fitnah dan dusta di antara manusia, karena bagaimana mungkin seseorang dikatakan beragama, jika dia suka memprovokasi untuk memancing emosi orang lain yg berbeda dg dirinya sendiri.

5. Dalam Islam, diajarkan untuk berbuat adil kepada siapa saja, jika yg salah dipihak kawan kita, maka ya harus berani kita salahkan, dan jika lawan kita benar, maka kita harus mengakui kebenarannya.

6. Dalam Islam, diajarkan kasih sayang kepada semuanya, tidak boleh ada rasa dendam atau dengki pada siapapun, jadi inilah Islam yg rohmatan lil'aalamiin 

Alhamdulillaah... 

Mengenal Qiro`ah, Bacaan Al-Quran

Diposkan Oleh: Muhtadi Bantan - Diperbarui Pada: Rabu, 25 Desember 2013 Pukul 21.45.00



Mengenal Qiro`ah, Bacaan Al-Quran


Mengenal Qiro`ah, Bacaan Al-Quran

  1. Prakata
  2. Pengertian ‘Tujuh Huruf’
    1. Ibnu ‘Amir
    2. Ibnu Katsir
    3. ‘Ashim al-Kufy
    4. Abu 'Amr
    5. Hamzah al-Kufy
    6. Imam Nafi
    7. Al-Kisaiy
  3. Qiro'ah 'Asyaroh
  4. Qiro'ah Arba'ata 'Asyar


Dalam membaca Al-Quran ada tatacara pelafadzan, pengucapan juga bacaan kalimat yang dibaca sesuai dengan pengajaran dari Rosulullah SAW.

Dalam ajaran islam, dikenal dengan sebutan Qiro'ah, Qiraat, yang mana kesemuanya bermuara pada penyampaian dan penerimaan dari jalan untaian siperawi, pemangku bacaan itu.

Ada Qiro'ah Sab'ah, Qiroah 'Asyaroh dan Qiro'ah Arba'ata 'Asyaroh.

Qiro’at sab’ah atau qiro’at tujuh adalah macam cara membaca al-qur’an yang berbeda. disebut qiro’at tujuh karena ada tujuh imam qiro’at yang terkenal masyhur yang masing-masing memiliki langgam bacaan tersendiri. tiap imam qiro’at memiliki dua orang murid yang bertindak sebagai perawi. tiap perawi tersebut juga memiliki perbedaan dalam cara membaca qur’an. sehingga ada empat belas cara membaca al-qur’an yang masyhur.

perbedaan cara membaca itu sama sekali bukan dibuat-buat, baik dibuat oleh imam qiro’at maupun oleh perawinya. cara membaca tersebut merupakan ajaran Rasulullah dan memang seperti itulah al-qur’an diturunkan.

Dari umar bin khathab, ia berkata, “aku mendengar hisyam bin hakim membaca surat al-furqon di masa hidup Rasulullah. aku perhatikan bacaannya. tiba-tiba ia membaca dengan banyak huruf yang belum pernah dibacakan Rasulullah kepadaku, sehingga hampir saja aku melabraknya di saat ia shalat, tetapi aku urungkan. maka, aku menunggunya sampai salam. begitu selesai, aku tarik pakaiannya dan aku katakan kepadanya, ‘siapakah yang mengajarkan bacaan surat itu kepadamu?’ ia menjawab, ‘Rasulullah yang membacakannya kepadaku. lalu aku katakan kepadanya, ‘kamu dusta! demi Allah, Rasulullah telah membacakan juga kepadaku surat yang sama, tetapi tidak seperti bacaanmu. kemudian aku bawa dia menghadap Rasulullah, dan aku ceritaan kepadanya bahwa aku telah mendengar orang ini membaca surat al-furqon dengan huruf-huruf (bacaan) yang tidak pernah engkau bacakan kepadaku, padahal engkau sendiri telah membacakan surat al-furqon kepadaku. maka Rasulullah berkata, ‘lepaskanlah dia, hai umar. bacalah surat tadi wahai hisyam!’ hisyam pun kemudian membacanya dengan bacaan seperti kudengar tadi. maka kata Rasulullah, ‘begitulah surat itu diturunkan.’ ia berkata lagi, ‘bacalah, wahai umar!’ lalu aku membacanya dengan bacaan sebagaimana diajarkan Rasulullah kepadaku. maka kata Rasulullah, ‘begitulah surat itu diturunkan. Sesungguhnya Al-Qur’an itu diturunkan dengan tujuh huruf, maka bacalah dengan huruf yang mudah bagimu di antaranya.’” [HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud, An-Nasa’i, At-Tirmidzi, Ahmad, dan Ibnu Jarir]

Mengenai makna dari ‘tujuh huruf’ tersebut ada dua pendapat yang kuat. pertama adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa arab mengenai satu makna: Quraisy, Hudzail, Saqif, Hawazin, Kinanah, Tamim, dan Yaman.

Diumpamakan kalau Dulu menggunakan ejaan yang lama bahasa Indonesia " Doeloe " dengan ejaan yang telah disempurnakan " dulu " lafadz berbeda dengan bunyi yang sama. maka Tulisan "Doeloe" di rubah menjadi "dulu" tulisannya berubah tapi bacaannya sama. Padahal Bahasa Indonesia Bahasa Pemersatu Bangsa.

hikmah diturunkannya al-qur’an dengan tujuh huruf antara lain: Memudahkan bacaan dan hafalan bagi bangsa ummi, Bukti kemukjizatan Al-Qur’an dari sisi kebahasaan orang arab, dan Kemukjizatan dalam aspek makna dan hukum (ketujuh huruf tersebut memberikan deskripsi hukum yang dikandung al-qur’an dengan lebih komprehensif dan universal).

At-Turmudzy meriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab, ia mengatakan: “Rasulullah SAW berjumpa dengan Jibril di gundukan Marwah”. Ia (Ka’ab) berkata: “Kemudian Rasul berkata kepada Jibril bahwa aku ini diutus untuk ummat yang ummy (tidak bisa menulis dan membaca). Diantaranya ada yang kakek-kakek tua, nenek-nenek bangka dan anak-anak”. Jibril menjawab: “Perintahkan, membaca Al-Qur’an dengan tujuh huruf”. Imam Turmudzy mengatakan: “Hadits ini hasan lagi shahih”.

Dalam suatu lafazh lain disebutkan: “Barangsiapa membacanya dengan satu huruf saja berarti telah membaca seperti ia (Nabi) membaca”.

Dituturkan dalam lafazh Hudzaefah, kemudian aku berkata: “Wahai Jibril bahwa aku diutus untuk ummat yang ummiyah di dalamnya terdapat orang lelaki, perempuan, anak-anak, pelayan (babu) dan kakek tua yang tidak bisa membaca sama sekali”. Jibril balik berkata: “Bahwa Al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf”.


Jumlah Qira’at Dan Aneka Ragam Pendapat Tentang Qira’at

Qira’at ada macam-macam jenisnya. pendapat tentang qira’at itu sendiri juga sangatlah beragam dan semua pendapat tersebut sangatlah berbobot seperti yang tertera di bawah ini.Pengarang kitab Al-Itqan Fi 'Ulumil Quran menyebutkan; macam-macam qira’at itu ada yang mutawatir, masyhur, Syadz, ahad, maudhu’ dan mudarraj.

Qadhi’ Jalaluddin al-Bulqiny mengatakan: Qira’at itu terbagi ke dalam: mutawatir, ahad dan syadz.

Yang mutawatir adalah qira’at tujuh yang masyhur. Yang ahad adalah qira’at tsalatsa (tiga) yang menjadi pelengkap qira’ah ‘asyrah (sepuluh), yang kesemuanya dipersamakan dengan qira’at para sahabat. Adapun qira’at yang syadz ialah qira’at para tabi’in seperti qira’at A’masy, Yahya ibnu Watsab, Ibnu Jubair dan lain-lain.

Imam as-Suyuthy mengatakan bahwa kata-kata di atas perlu ditinjau kembali. Yang pantas untuk berbicara dalam bidang ini adalah tokoh qurra’ pada masanya yang bernama Syaikh Abu al-Khair ibnu al-Jazary dimana beliau mengatakan dalam muqaddimah kitabnya An-Nasyr: “Semua qira’at yang sesuai dengan bacaan Arab walau hanya satu segi saja dan sesuai dengan salah satu mushhaf Utsmany walaupun hanya sekedar mendekati serta sanadnya benar maka qira’at tersebut adalah shahih (benar), yang tidak ditolak dan haram menentangnya, bahkan itu termasuk dalam bagian huruf yang tujuh dimana Al-Qur’an diturunkan. Wajib bagi semua orang untuk menerimanya baik timbulnya dari imam yang tujuh maupun dari yang sepuluh atau lainnya yang bisa diterima. Apabila salah satu persyaratan yang tiga tersebut di atas tidak terpenuhi maka qira’at itu dikatakan qira’at yang syadz atau bathil, baik datangnya dari aliran yang tujuh maupun dari tokoh yang lebih ternama lagi. Inilah pendapat yang benar menurut para muhaqqiq dari kalangan salaf maupun khalaf.

Pengarang kitab Ath-Thayyibah dalam memberikan batas diterimanya qira’at mengatakan: Setiap bacaan yang sesuai dengan nahwu, mirip dengan tulisan mushhaf Utsmany, benar adanya itulah bacaan. Ketiga sendi ini, bila rusak salah satunya menyatakan itu cacat, meski dari qira’at sab’ah datangnya.

Qira’at ada yang mengartikan qira’at sab’ah, qira’at sepuluh dan qira’at empat belas. Semuanya yang paling terkenal dan nilai kedudukannya tinggi ialah qira’at sab’ah.

Qira’at sab’ah (tujuh) adalah qira’at yang dinisbatkan kepada imam yang tujuh dan terkenal, yaitu: Nafi’, Ashim, Hamzah, Abdullah bin Amir, Abdullah ibnu Katsir, Abu Amer ibnu ‘Ala’ dan Ali al-Kisaiy.

Qira’at ‘asyar (sepuluh) adalah qira’at yang tujuh ditambah dengan qira’at: Abi Ja’far, Ya’qub dan Khalaf.

Qira’at arba’ ‘asyar (empat belas) yaitu qira’at yang sepuluh ditambah empat qira’at: Hasan al-Bashry, Ibnu Mahish, Yahya al-Yazidy dan asy-Syambudzy.
Qiro`ah Sab`ah adalah Qiro`ah Utsmani.


Pendapat yang paling masyhur mengenai pentafsiran Sab’atu Ahruf adalah pendapat Ar-Razi dikuatkan oleh Az-Zarqani dan didukung oleh jumhur ulama. Perbedaan yang berkisar pada tujuh wajah;

1. Perbedaan pada bentuk isim , antara mufrad, tasniah, jamak muzakkar atau mu’annath. Contohnya,

وَالَّذِينَ هُمْ لأمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ (Al-Mukminun:

Lafad bergaris dibaca secara jamak لأمَانَاتِهِمْ dan mufrad لأمَانتِهِمْ.

2. Perbedaan bentuk fi’il madhi , mudhari’ atau amar. Contohnya,

فَقَالُوا رَبَّنَا بَاعِدْ بَيْنَ أَسْفَارِنَاٍ (Saba’ : 19)

Sebahagian qiraat membaca lafad ‘rabbana’ dengan rabbuna, dan dalam kedudukan yang lain lafad ‘ba’idu’ dengan ‘ba’ada’.

3. Perbedaan dalam bentuk ‘irab.

Contoh, lafad إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلا يُضَارَّ كَاتِبٌ (Al-Baqarah: 282) dibaca dengan disukunkan huruf ‘ra’ sedangkan yang lain membaca dengan fathah.

4. Mendahulukan (taqdim) dan mengakhirkan (ta’khir).

Contoh,

وَجَاءَتْ سَكْرَةُ الْمَوْتِ بِالْحَق (Surah Qaf: 19) dibaca dengan didahulukan ‘al-haq’ dan diakhirkan ‘al-maut’,وَجَاءَتْ سَكْرَةُالْحَق بِالْمَوْتِ . Qiraat ini dianggap lemah.

5. Perbedaan dalam menambah dan mengurangi.

Contoh ayat 3, Surah al-Lail,

وَمَا خَلَقَالذَّكَرَ وَالأنْثَى

Ada qiraat yang membuang lafad ‘ma kholaqo’(bergaris).

6. Perbedaan ibdal (ganti huruf).

Contoh, kalimah ‘nunsyizuha’ dalam ayat 259 Surah al-Baqarah dibaca dengan ‘nunsyiruha’ (‘zai’ diibdalkan dengan huruf ‘ra’).

7. Perbedaan lahjah

Seperti dalam masalah imalah, tarqiq, tafkhim, izhar, idgham dan sebagainya. Perkataan ‘wadduha’ dibaca dengan fathah dan ada yang membaca dengan imalah (teleng) dengan bunyi ‘wadduhe’ (sebutan antara fathah dan kasrah).

Itulah tujuh Imam yang tak diragukan lagi.


Nama lengkapnya adalah Abdullah al-Yahshshuby seorang qadhi di Damaskus pada masa pemerintahan Walid ibnu Abdul Malik. Pannggilannya adalah Abu Imran. Dia adalah seorang tabi’in, belajar qira’at dari Al-Mughirah ibnu Abi Syihab al-Mahzumy dari Utsman bin Affan dari Rasulullah SAW. Beliau Wafat di Damaskus pada tahun 118 H. Orang yang menjadi murid, dalam qira’atnya adalah Hisyam dan Ibnu Dzakwan.

Dalam hal ini pengarang Asy-Syathiby mengatakan: “Damaskus tempat tinggal Ibnu ‘Amir, di sanalah tempat yang megah buat Abdullah. Hisyam adalah sebagai penerus Abdullah. Dzakwan juga mengambil dari sanadnya.


Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad Abdullah Ibnu Katsir ad-Dary al-Makky, ia adalah imam dalam hal qira’at di Makkah, ia adalah seorang tabi’in yang pernah hidup bersama shahabat Abdullah ibnu Jubair. Abu Ayyub al-Anshari dan Anas ibnu Malik, dia wafat di Makkah pada tahun 120 H. Perawinya dan penerusnya adalah al-Bazy wafat pada tahun 250 H. dan Qunbul wafat pada tahun 291 H.

Asy-Syathiby mengemukakan: “Makkah tempat tinggal Abdullah. Ibnu Katsir panggilan kaumnya. Ahmad al-Bazy sebagai penerusnya. Juga….. Muhammad yang disebut Qumbul namanya.


Nama lengkapnya adalah ‘Ashim ibnu Abi an-Nujud al-Asady. Disebut juga dengan Ibnu Bahdalah. Panggilannya adalah Abu Bakar, ia adalah seorang tabi’in yang wafat pada sekitar tahun 127-128 H di Kufah. Kedua Perawinya adalah; Syu’bah wafat pada tahun 193 H dan Hafsah wafat pada tahun 180 H.

Kitab Syathiby dalam sya’irnya mengatakan: “Di Kufah yang gemilang ada tiga orang. Keharuman mereka melebihi wangi-wangian dari cengkeh Abu Bakar atau Ashim ibnu Iyasy panggilannya. Syu’ba perawi utamanya lagi terkenal pula si Hafs yang terkenal dengan ketelitiannya, itulah murid Ibnu Iyasy atau Abu Bakar yang diridhai.


Nama lengkapnya adalah Abu ‘Amr Zabban ibnul ‘Ala’ ibnu Ammar al-Bashry, sorang guru besar pada rawi. Disebut juga sebagai namanya dengan Yahya, menurut sebagian orang nama Abu Amr itu nama panggilannya. Beliau wafat di Kufah pada tahun 154 H. Kedua perawinya adalah ad-Dury wafat pada tahun 246 H. dan as-Susy wafat pada tahun 261 H.

Asy-Syathiby mengatakan: “Imam Maziny dipanggil orang-orang dengan nama Abu ‘Amr al-Bashry, ayahnya bernama ‘Ala, Menurunkan ilmunya pada Yahya al-Yazidy. Namanya terkenal bagaikan sungai Evfrat. Orang yang paling shaleh diantara mereka, Abu Syua’ib atau as-Susy berguru padanya.


Nama lengkapnya adalah Hamzah Ibnu Habib Ibnu ‘Imarah az-Zayyat al-Fardhi ath-Thaimy seorang bekas hamba ‘Ikrimah ibnu Rabi’ at-Taimy, dipanggil dengan Ibnu ‘Imarh, wafat di Hawan pada masa Khalifah Abu Ja’far al-Manshur tahun 156 H. Kedua perawinya adalah Khalaf wafat tahun 229 H. Dan Khallad wafat tahun 220 H. dengan perantara Salim.

Syatiby mengemukakan: “Hamzah sungguh Imam yang takwa, sabar dan tekun dengan Al-Qur’an, Khalaf dan Khallad perawinya, perantaraan Salim meriwayatkannya.


Nama lengkapnya adalah Abu Ruwaim Nafi’ ibnu Abdurrahman ibnu Abi Na’im al-Laitsy, asalnya dari Isfahan. Dengan kemangkatan Nafi’ berakhirlah kepemimpinan para qari di Madinah al-Munawwarah. Beliau wafat pada tahun 169 H. Perawinya adalah Qalun wafat pada tahun 12 H, dan Warasy wafat pada tahun 197 H.

Syaikh Syathiby mengemukakan: “Nafi’ seorang yang mulia lagi harum namanya, memilih Madinah sebagai tempat tinggalnya. Qolun atau Isa dan Utsman alias Warasy, sahabat mulia yang mengembangkannya.


Nama lengkapnya adalah Ali Ibnu Hamzah, seorang imam nahwu golongan Kufah. Dipanggil dengan nama Abul Hasan, menurut sebagiam orang disebut dengan nama Kisaiy karena memakai kisa pada waktu ihram. Beliau wafat di Ranbawiyyah yaitu sebuah desa di Negeri Roy ketika ia dalam perjalanan ke Khurasan bersama ar-Rasyid pada tahun 189 H. Perawinya adalah Abul Harits wafat pada tahun 424 H, dan ad-Dury wafat tahun 246 H. [4]

Inilah Qiraat yang 7, adapun tambahannya adalah:


8. Qiraat Ya’kub bin IshaQ Hadhrami. Meninggal 250 Hijrah.

9. Qiraat Khalaf bin Hisyam. Meninggal 229 Hijrah.

10. Qiraat Yazid bin Al- Qa’qa dikenali sebagai Abu Ja’far. Meninggal 130 Hijrah.

Disamping itu terdapat pula Qiraat 14, yakni ditambah :


11. Qiraat Hasan Al Bashri. Meninggal 110 Hijrah.

12. Qiraat Yahya bin Al Mubarak Al Yazid. Meninggal 202 Hijrah.

13. Qiraat Muhammad bin Abdurrahman yang dipanggil Ibnu Muhaishan. Meninggal 123 Hijrah.Q

14. Qiraat Abil- Faraj Muhammad bin Ahmad Asy- Syanbuzi. Meninggal 388 Hijrah.

F. Syarat-Syarat Qiraat yang Muktabar dan Jenisnya

Untuk menangkal penyelewengan Qiraat yang sudah mulai muncul, para ulama membuat persyaratan-persyaratan bagi qiraat yang dapat diterima. Hal ini untuk membedakan Qiraat yang benar dan yang aneh/asing (Syazzah). Para ulama membuat tiga syarat.
  • Pertama, Qiraat itu sesuai dengan bahasa Arab meskipun menurut satu jalan.
  • Kedua, Qiraat itu sesuai dengan salah satu mushaf-mushaf utsmani.
  • Ketiga, sahih sanadnya.

Imam Abul Hasan Al-Asy'ari

Diposkan Oleh: Muhtadi Bantan - Diperbarui Pada: Senin, 16 Desember 2013 Pukul 07.51.00



Imam Abul Hasan Al-Asy'ari


Abu Hasan al-Asy'ari 260H - 324H
Beliau adalah Al-Imam Abul Hasan Ali bin Ismail bin Abu Bisyr Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa bin Bilal bin Abu Burdah bin Abu Musa Al-Asy’ari Abdullah bin Qais bin Hadhar. Abu Musa Al-Asy’ari adalah salah seorang sahabat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam yang masyhur.

Beliau -Abul Hasan Al-Asy’ari- Rahimahullah dilahirkan pada ta­hun 260 H di Bashrah, Irak.
Beliau Rahimahullah dikenal dengan kecerdasannya yang luar biasa dan ketajaman pemahamannya. Demi­kian juga, beliau dikenal dengan qana’ah dan kezuhudannya.

Guru-gurunya
Beliau Rahimahullah mengambil ilmu kalam dari ayah tirinya, Abu Ali al-Jubai, seorang imam kelompok Mu’tazilah.

Ketika beliau keluar dari pemikiran Mu’tazilah, beliau Rahimahullah memasuki kota Baghdad dan mengambil hadits dari muhaddits Baghdad Zakariya bin Yahya as­-Saji. Demikian juga, beliau belajar kepada Abul Khalifah al-Jumahi, Sahl bin Nuh, Muhammad bin Ya’qub al-Muqri, Abdurrahman bin Khalaf al-Bashri, dan para ula­ma thabaqah mereka.

Taubatnya dari aqidah Mu’tazilah
Al-Hafizh Ibnu Asakir ber­kata di dalam kitabnya Tabyin Kadzibil Muftari fima Nusiba ila Abil Hasan al-Asy’ari, ”Abu Bakr Ismail bin Abu Muhammad al­-Qairawani berkata, ‘Sesungguh­nya Abul Hasan al-Asy’ari awalnya mengikuti pemikiran Mu’tazilah selama 40 tahun dan jadilah beliau seorang imam mereka. Suatu saat beliau menyepi dari manusia selama 15 hari, sesudah itu beliau kembali ke Bashrah dan shalat di masjid Jami’ Bashrah. Seusai shalat Jum’at beliau naik ke mimbar se­raya mengatakan:

Wahai manusia, sesungguhnya aku menghilang dari kalian pada hari-hari yang lalu karena aku melihat suatu permasalahan yang dalil-dalilnya sama-­sama kuat sehingga tidak bisa aku tentukan mana yang haq dan mana yang batil, maka aku memohon pe­tunjuk kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga Allah memberikan petunjuk kepada­ku yang aku tuliskan dalam kitab- kitabku ini, aku telah melepaskan diriku dari semua yang sebelum­nya aku yakini, sebagaimana aku lepaskan bajuku ini.

Beliau pun melepas baju beliau dan beliau serahkan kitab-kitab tersebut kepada manusia. Ketika ahlul hadits dan fiqh membaca kitab-kitab tersebut me­reka mengambil apa yang ada di dalamnya dan mereka mengakui kedudukan yang agung dari Abul Hasan al-Asy’ari dan menjadikan­nya sebagai imam.’”

Para pakar hadits (Ashhabul hadits) sepakat bahwa Abul Hasan al-Asy’ari adalah salah seorang imam dari ashhabul hadits.

Beliau ber­bicara pada pokok-pokok agama dan membantah orang-orang menye­leweng dari ahli bid’ah dan ahwa’ dengan menggunakan al-Qur’an dan Hadits dengan pemahaman para sahabat. Beliau adalah pedang yang terhu­nus atas Mu’taziah, Rafidhah, dan para ahli bid’ah.
Abu Bakr bin Faurak berkata, ”Abul Hasan al-Asy’ari keluar dari pemikiran Mu’tazilah dan mengikuti madzhab yang sesuai dengan para sahabat pada tahun 300 H.”

Abul Abbas Ahmad bin Mu­hammad bin Khalikan berkata dalam kitabnya, Wafayatul A’yan (2/446), ”Abul Hasan al-Asy’ari awalnya mengikuti pemikiran Mu’tazilah kemudian bertaubat.”
Al-Hafizh Ibnu Katsir berka­ta dalam kitabnya, al-Bidayah wan Nihayah (11/187), “Sesungguhnya Abul Hasan al-Asy’ari awalnya adalah seorang Mu’tazilah kemu­dian bertaubat dari pemikiran Mu’tazilah di Bashrah di atas mimbar, kemudian beliau tampakkan aib-aib dan kebobrokan pemikiran Mu’tazilah.”

Al-Hafizh adz-Dzahabi ber­kata dalam kitabnya, al-Uluw lil Aliyyil Ghaffar, ”Abul Hasan al­Asy’ari awalnya seorang Mu’tazilah mengambil ilmu dari Abu Ali al-­Juba’i, kemudian beliau lepaskan pemikiran Mu’tazilah dan jadilah beliau mengikuti Sunnah dan mengikuti para imam ahli hadits.”

Tajuddin as-Subki berkata dalam kitabnya, Thabaqah Syafi­’iyyah al-Kubra (2/246), ”Abul Hasan al-Asy’ari -mengikuti pe­mikiran Mu’tazilah selama 40 tahun hingga menjadi imam ke­lompok Mu’tazilah. Ketika Alloh menghendaki membela agama­Nya dan melapangkan dada beliau untuk ittiba’ kepada al-Haq maka beliau menghilang dari manusia di rumahnya.” (Kemudian Tajuddin as-Subki menyebutkan apa yang dikatakan oleh al-Hafizh Ibnu Asakir di atas).

Ibnu Farhun al-Maliki berkata dalam kitabnya Dibajul Madz­hab fi Ma’rifati A’yani Ulama’il Madzhab (hal. 193), 
”Abul Hasan al-Asy’ari awalnya adalah seorang Mu’tazilah, kemudian keluar dari pemikiran Mu’tazilah kepada madzhab yang haq madzhabnya para sahabat. Banyak yang heran dengan hal itu dan bertanya se­babnya kepada beliau, Maka be­liau menjawab bahwa beliau pada bulan Ramadhan bermimpi bertemu Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam yang memerintahkan ke­pada beliau agar kembali kepada kebenaran dan membelanya, dan demikianlah kenyataannya -walhamdulillahi Taala-.”

Murtadha az-Zabidi berkata dalam kitabnya Ittihafu Sadatil Muttaqin bi Syarhi Asrari lhya’ Ulumiddin (2/3), ”Abul Hasan al-Asy’ari mengambil ilmu kalam dari Abu Ali al-Jubba’i (tokoh Mu’tazilah), kemudian beliau tinggalkan pemikiran Mu’tazilah dengan sebab mimpi yang beliau lihat, beliau keluar dari Mu’tazilah secara terang-terangan, beliau naik mimbar Bashrah pada hari Jum’at dan menyeru dengan lantang, ‘Barangsiapa yang telah mengenaliku maka sungguh telah tahu siapa diriku dan barangsiapa yang belum kenal aku maka aku adalah Ali bin Ismail yang dulu aku mengatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk, bahwasanya Allah tidak bisa dilihat di akhirat dengan mata, dan bah­wasanya para hamba menciptakan perbuatan-perbuatan mereka. Dan sekarang lihatlah aku telah bertau­bat dari pemikiran Mu’tazilah dan meyakini bantahan atas mereka,’ kemudian mulailah beliau mem­bantah mereka dan menulis yang menyelisih pemikiran mereka.”
Kemudian az-Zabidi berkata, “Ibnu Katsir berkata,

‘Para ulama menyebutkan bahwa Syaikh Abul Hasan al-Asy’ari memiliki tiga fase pemikiran:
Pertama mengikuti pemikiran Mu’tazilah yang kemu­dian beliau keluar darinya,
Kedua menetapkan tujuh sifat aqliyyah, yaitu; Hayat, Ilmu, Qudrah, Iradah, Sama’, Bashar, dan Kalam, dan beliau menakwil sifat-sifat khabariyyah seperti wajah, dua tangan, telapak kaki, betis, dan yang semisalnya.
Ketiga adalah menetapkan semua sifat Allah tan­pa takyif dan tasybih sesuai man­haj para sahabat yang merupakan metode beliau dalam kitabnya al-Ibanah yang beliau tulis belakangan.’”

Murid-muridnya
Di antara murid-muridnya adalah Abul Hasan al-Bahili, Abul Hasan al-Karmani, Abu Zaid al­-Marwazi, Abu Abdillah bin Mu­jahid al-Bashri, Bindar bin Husain asy-Syairazi, Abu Muhammad al­-Iraqi, Zahir bin Ahmad as-Sara­khsyi, Abu Sahl Ash-Shu’luki, Abu Nashr al-Kawwaz Asy-Syairazi, dan yang lainnya.

Tulisan-tulisannya
Di antara tulisan-tulisan be­liau adalah: al-Ibanah an Ushuli Diyanah, Maqalatul Islamiyyin, Risalah Ila Ahli Tsaghr, al-Luma’ fi Raddi ala Ahlil Bida’, al-Mujaz, al-Umad fi Ru’yah, Fushul fi Raddi alal Mulhidin, Khalqul A’mal, Kita­bush Shifat, Kitabur Ruyah bil Ab­shar, al-Khash wal ‘Am, Raddu Alal Mujassimah, Idhahul Burhan, asy­-Syarh wa Tafshil, an-Naqdhu alal Jubai, an-naqdhu alal Balkhi, Jum­latu Maqalatil Mulhidin, Raddu ala lbni Ruwandi, al-Qami’ fi Raddi alal Khalidi, Adabul Jadal, Jawabul Khurasaniyyah, Jawabus Sirafiyyin, Jawabul Jurjaniyyin, Masail Mantsurah Baghdadiyyah, al- Funun fi Raddi alal Mulhidin, Nawadir fi Daqaiqil Kalam, Kasyful Asrar wa Hatkul Atsar, Tafsirul Qur’an al­-Mukhtazin, dan yang lainnya.
al-Imam Ibnu Hazm Rohimahullah berkata, “al-Imam Abul Hasan al-­Asy’ari memiliki 55 tulisan.

Di antara perkataan-­perkataannya

Al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari Rohimahullah berkata dalam kitabnya al-Ibanah an Ushuli Diyanah hal. 17: Apabila seseorang bertan­ya, “Kamu mengingkari perkataan Mu’tazilah, Qadariyyah, Jahmi­yyah, Haruriyyah, Rafidhah, dan Murji’ah. Maka terangkan kepada kami pendapatmu dan keyaki­nanmu yang engkau beribadah ke­pada Allah dengannya!” Jawablah, “Pendapat dan keyakinan yang kami pegangi adalah berpegang teguh dengan kitab Rabb kita, sunnah Nabi kita Shalallahu ‘alaihi wasallam dan apa yang diriwayatkan dari para sahabat, tabi’in, dan para ahli hadits. Kami berpegang teguh dengannya. Dan berpendapat dengan apa yang di­katakan oleh Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal.”

Ringkas perkataan kami bah­wasanya kami beriman kepada Allah, para malaikatNya, kitab-­kitabNya, para rasulNya, dan apa yang dibawa oleh mereka dari sisi Allah dan apa yang diriwayatkan oleh para ulama yang terpercaya dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, kami tidak akan menolak sedikitpun.

Sesung­guhnya Allah adalah Ilah yang Esa, tiada sesembahan yang berhak di­ibadahi kecuali Dia, Dia Esa dan tempat bergantung seluruh makh­luk, tidak membutuhkan anak dan istri. Dan bahwasanya Muham­mad Shalallahu ‘alaihi wasallam adalah hamba dan urusan­Nya. Allah mengurusnya dengan membawa petunjuk dan dien yang benar. Surga dan neraka benar adanya. Hari kiamat pasti datang, tidak ada kesamaran sedikitpun. Dan Allah akan membangkitkan yang ada di kubur. Allah berse­mayam di atas Arsy seperti dalam firmanNya:

“Alloh bersemayam di atas ‘Arsy”. (QS. Thaha: 5)
Allah. memiliki dua tangan, tapi tidak boleh ditakyif, seperti dalam firmanNya:
“Telah Kuciptakan dengan kedua tangan-Ku”. (QS. Shad: 75) dan fir­manNya
“Tetapi kedua-dua tangan Alloh ter­buka.” (QS. al-Maidah: 64)
Allah memiliki dua mata tanpa di­takyif, seperti dalam firmanNya:
“Yang berlayar dengan pengawasan mata Kami.” (QS. al-Qamar: 14)
Siapa yang menyangka bahwa nama-nama Allah bukanlah Al­lah maka sungguh dia sesat, Allah berilmu seperti dalam firmanNya
“Dan tidak ada seorang perempuanpun mengandung dan tidak (pula) melahirkan melainkan dengan ilmu-Nya.” (QS. Fathir: 11)
Kita menetapkan bahwa Allah mendengar dan melihat, kita tidak menafikannya seperti dilakukan oleh orang-orang Mu’tazilah, Jah­miyyah, dan Khawarij.”

Beliau berkata dalam kitab­nya Maqalatul lslamiyyin wa lkhti­lafil Mushallin hal. 290: Kesim­pulan apa yang diyakini oleh ahli hadits dan Sunnah bahwasanya mereka mengakui keimanan kepa­da Allah, para malaikatNya, kitab­-kitabNya, para rasulNya, dan apa yang dibawa oleh mereka dari sisi Allah dan apa yang diriwayatkan oleh para ulama yang terpercaya dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, mereka tidak akan menolak sedikitpun. Dan bahwasanya Allah adalah Ilah yang Esa, tiada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Dia, Dia Esa dan tempat bergantung seluruh makh­luk, tidak membutuhkan anak dan istri. Dan bahwasanya Muham­mad Shalallahu ‘alaihi wasallam adalah hamba dan utusan­Nya.

Mereka memandang wajib­nya menjauhi setiap penyeru kepada kebid’ahan dan hendaknya menyibukkan diri dengan mem­baca al-Qur’an, menulis atsar-­atsar, dan menelaah fiqih, dengan selalu tawadhu’, tenang, berakhlak yang baik, menebar kebaikan, menahan diri dari mengganggu orang lain, meninggalkan ghibah dan namimah, dan berusaha mem­perhatikan keadaan orang yang kekurangan.

Inilah kesimpulan dari apa, yang mereka perintahkan, amalkan, dan mereka pandang, dan kami mengatakan sebagaimana yang kami sebutkan dari mereka dan kepada ini semua kami ber­madzhab, dan tidaklah kami mendapatkan taufiq kecuali dari Allah.”

Wafatnya
al-Imam Abul Hasan al­-Asy’ari wafat di Baghdad pada tahun 324 H. Semoga Allah meridhoi­nya dan menempatkannya dalam keluasan jannahNya.
Sumber: Siyar A’lamin Nubala’ oleh Adz­-Dzahabi 15/85-90, dan Tarjamah Abul Hasan al-Asy’ari.