" ليس الجمال بأثواب تزيننا ولكن الجمال بجمال العلم والأدب "

Silahkan cari:
Subscribe:

Ads 468x60px

Mama Sanja Kadukaweng Pandeglang

Diposkan Oleh: Muhtadi Bantan - Diperbarui Pada: Sabtu, 26 November 2011 Pukul 16.03.00



Mama Sanja kadu kaweng pandeglang

Seorang yang terkenal sebagai Raja Alfiyah ini lahir di Cigintung Pandeglang pada tahun 1917 M. Ayahnya bernama H. Kasmin bin Ki Adil, Ibunya bernama Hj. Umi Elas. Sebelum ke Kadukaweng setelah menikah beliau tinggal di kampung isterinya di Kadubuluh, tempat 500m ke arah selatan Kadukaweng dan mempunyai anak satu yaitu KH. Encep Fathoni (alm). Sepeninggal istri pertama, beliau menikah dengan Ibu dan pindah membuka tempat di lahan kosong yang asalnya kampung babakan (tidak berpenghuni) yang seterusnya di sebut Kadukaweng pesantren, karena beliau mendirikan pesantren di sana dan lama kelamaan bernama Pesantren Riyadlul Alfiyah dengan tertuang jelas di papan nama bernama "Pesantren Islam Riyadlul Alfiyah Kadukaweng" disingkat PIRAK.

Penamaan Riyadul Alfiyah disesuaikan dengan kekhususan pelajaran yang dikaji di pesantren ini yaitu kitab al-Fiyah, membahas tentang ilmu alat bahasa Arab karangan Syeikh Jamaluddin Muhammad bin Abdullah bin Malik yang gelaran masyhurnya dengan Ibnu Malik. Adapun nama Riyadl yang artinya taman, orang menyebutnya 'kebon' dan sesuai dengan tempat yang baru dibuka yaitu 'ngababakan' karena asal tempat itu berupa tempat yang belum berpenghuni di kelilingi banyak sawah setelah sepeninggal istri pertamanya bermukim di Kadubuluh.

Selain kitab al-Fiyah yang di muhit, secara priodik bila tamat maka kembali dari awal begitu seterusnya tiada henti yang dikaji dan di ajarkan tiap harinya. Banyak fan (disiplin) ilmu yang juga diajarkan terutama fan ilmu mantiq yaitu sebuah cabang ilmu yang mempelajari tentang bagaimana cara berpikir yang tepat sehingga melahirkan kesimpulan yang tepat pula.

Di Pesantren ini keistimewaannya dalam pengajaran isi kitab al-Fiyah, Mama menggunakan Syarah kitab al-Fiyah dari kitab al-Fiyah Maimuniyah. Isi yang terkandung didalamnya mencakup berbagai disiplin ilmu, mulai dari fan tauhid, fan fikih dan bidang tasawuf, juga didalamnya banyak mengandung ilmu hikam, kata-kata mutiara penuh nasihat. Namun kitab ini sedari tahun sembilan puluhan telah hilang, dipinjam seseorang dan tidak pernah kembali. Selain disiplin keilmuan yang diajarkan di pesantren ini juga di selingi dengan ilmu bela diri sera Cimande, Cikalong dan berbagai ilmu kanuragan yang lainnya, sebagai pelatihan santri untuk berjiwa sehat jasmani dan sebagai persiapan nanti di kemudian hari bila terjun sendiri di masyarakat.

Adapun jiwa dan diri Mama memegang teguh perinsip kesehajaan. Ketawaduan adalah sifatnya yang menonjol. Walau ia dikenal banyak memiliki kekayaan tetapi hidupnya begitu sederhana. Disela-sela mengajar ngaji para santri, beliau selalu menyempatkan diri pergi ke sawah untuk mencangkul. Sawahnya begitu luas membetang dari ujung ke ujung. Sangking luas dan banyak sawah kepunyaanya, beliau sudah tidak diperkenankan lagi membeli sawah oleh pemerintah atas nama dirinya karena sawahnya telah berjumlah ratusan hektar. Adapun sebutannya untuk beliau adalah Mama yang berartikan salah satu gelar orang yang mumpuni dalam keilmuan, namun beliau enggan disebut Mama, beliau hanya menamakan diri sebutan 'Akang' makna kakak dalam bahasa sunda.

Begitulah sosok yang penuh ketawadu'an dalam perikehidupan sehari-hari. Betapa tidak, hingga setelah mempunyai murid banyak pun beliau tidak gila hormat. Pernah satu kejadian dimana ada seorang santri yang mau mesantren ke Kadukaweng menggunakan jasa Mama yang disuruh membawa barang-barangnya. Sebagaimana biasa setelah sholat subuh Mama mencangkul disawah sampai menjelang waktu dimulainya pengajaran di majlis sekitar pukul tujuh pagi. Seorang santri itu membawa banyak bingkisan, ditengah perjalanan ke pesantren PIRAK, dia kewalahan membawa barang-barangnya dan kebetulan ada seorang tua yang berjalan kaki yang kelihatan seorang petani. Santri ini memang belum tahu dimana tempat pesantren, dan dia bertaya pada orang itu bahkan menitipkan barang bungkusannya agar dibawa kepesantren, sekalian berjalan dengan orang tua tadi. Orang yang kelihatanya petani ini mengiakan saja dan siap mengantarkan santri yang ingin mesantren ini hingga ke kobong. Sesampainnya di depan majlis, orang itu berkata: " Saya hanya bisa antar sampai disini saja, bila 'mamang' (sebutan pada santri) mau bertemu seseorang yang akan dijadikan guru, silahkan kesana dan itu rumahnya, saya mau pulang". Selanjutnya santri itu pergi sendirian menuju rumah dan akan bertemu dengan pak kiai, dan tidak lama dia bertemu juga. Namun betapa terkejutnya, ternyata orang tua yang mengantarkannya tadi adalah seseorang yang akan di jadikan guru. Apatah kata penyesalan dan kesia-siaan penyesalan, karena sesal kemudian tiada berguna. Singkat cerita setelah bercengkrama, si santri itu dititipkan sama santri senior oleh Mama, agar ditempatkan di kobong (asrama santri) yang masih tersedia, selanjutnya dia keluar ikut menuju tempat yang akan ditinggalinya mencari ilmu, namun tanpa ada orang yang tahu, dia pulang, pergi meningalkan pesantren begitu saja di malam hari.

Pengalaman ilmiyah Mama dimulai di pesantren Kadugadung Cipeucang, Pandeglang asuhan Kiayi Luthfi, sambil mengenyam pendidikan di Vervolksch School, Sekolah lanjutan untuk sekolah desa, belajar dengan bahasa pengantarnya bahasa daerah dan masa belajar selama 2 tahun. Setelah di Vervolksch School, dilanjutkan nyantri di Kadupeusing asuhan Syeikh Tubagus Abdul Halim, seorang Kiayi yang menjadi Bupati Pandeglang pertama pasca kemerdekaan. Kemudian berguru kepada Syekh Muqri Karabohong Labuan, seorang kiayi yang terkenal dengan semangat pembelaannya pada tanah air. Syekh Muqri pula terjun pada perang Pandeglang pada tahun 1926 bersama Syekh Asnawi caringin dan Syekh Falati dari Maghrabi (maroko) yang sengaja datang ke Banten untuk membantu perjuangan rakyat Banten melawan belanda. Setelah itu Mama menuntut ilmu di luar wilayah Banten. Ia mendatangi pesantren Sukaraja di Garut asuhan Syekh Adro’i. Syekh adro’I ini terkenal sebagai raja Alfiyah waktu itu. Setelah wafatnya Syekh Adro’I, Mama Sanja di yakini sebagai penerus risalah penghulu para ahli kitab alfiyah. Beliau juga menuntut ilmu di pesantren Sempur asuhan Syekh Tubagus Ahmad Bakri bin Tubagus Seda, yang terkenal dengan Mama Sempur. Mama Sempur adalah Bangsawan Banten yang menuntut ilmu kepada Syekh Nawawi bin Umar al-Jawi, kelahiran Tanara, Serang, Banten yang dipusarakan di pemakaman Ma'la Makkah al-mukarromah. Setelah Mama Sempur pulang ke jawa beliau mendirikan pesantren di Sempur Purwakarta. Selain di Sempur Mama juga mesantren di Gentur asuhan Syekh Ahmad Syatibi, Mama Gentur nama lainnya, seorang ulama ahli ilmu balaghoh pengarang Maqulat dan Nasta'in. Selain itu pula Mama mesantren di Cirebon, di Pekalongan, di Bogor di Syeikh Ruyani, Mama Ruyani sebutan lainnya. Juga Mama belajar pada guru-guru yang lain.

Para ulama dan kiayi pengasuh pesantren di seluruh Banten dari mulai tahun limapuluhan sampai Sembilan puluhan rata-rata pernah merasakan nyantri di Mama. Belum lengkap rasanya ilmu yang ditimba di banyak pesantren bila belum merasakan nyantri dan ngaji ilmu nahwu dan shorof yang terdapat dalam kitab al-Fiyah ibnu Malik kepada Mama yang merupakan penghulu para ahli al-Fiyah. Murid-murid beliau menyebar di seluruh Banten dan tanah pasundan khususnya dan pulau jawa dan lampung juga Nusantara pada umumnya. Di antara dari ratusan bahkan ribuan kiayi yang bisa disebutkan sebagai muridnya dan sempat mengenyam pendidikan di Kadukaweng baik husus belajar dan menetap di sana, atau juga yang mengikuti pengajian kilatan sebulan di bulan Ramadhan yang dinamakan pasaran Alfiyah (satu kali khatam), atau mengikuti 'Yamanan' di bulan Rabi'ul Awal selama empatpuluh hari dari tanggal duapuluh safar hingga akhir Rabi'ul Awal, adalah Hadratus Syaikh Abuya Ahmad Damanhuri Arman, Syekh Ahmad Bushtomi (Buya Cisantri), dll.

Beliau mempunyai sebelas orang anak yaitu KH. Encep fathoni (alm), H. Naning Yunani, KH. Juwaini (H. Neni, yang meneruskan beliau menjadi pengasuh pesantren sekarang bersama adik dan adik iparnya, KH. Malik (alm)), Hj. Fathonah, H. ahmad Yani, H. Badruddin, H. Farhani, H. Endin, H. Lutfi, Hj. Lutfiyah dan sibungsu H. Encep. Penganut tariqah Al-qadiriyah wa- Annaqsyabandiyah ini kembali ke Rafiiqul a’la dalam usia ke 82 tahun pada hari Ahad tanggal 25 Muharram 1420 H. bertepatan dengan 11 mei 1999 M.

Itulah sepenggal kisah dan biografi Mama Sanja Kadukaweng Pandeglang, baca juga Abuya SANJA (Santri Jago Alfiyyah) kadu kaweng pandeglang, semoga tulisan ini bermanfaat.


العلامة الشيخ عبد الله الهرري رحمه الله (riwayat ringkas)

Diposkan Oleh: Muhtadi Bantan - Diperbarui Pada: Pukul 03.38.00


Al Harory
oleh الشيخ جميل حليم الحسيني

العلامة الشيخ عبد الله الهرري رحمه الله

هو رجل من أمّة محمد صلى الله عليه وسلم التي زخرت بالرجال الرجال، الأبطال الجبال، على مرّ الأجيال، عاش في هذا الزمن الصعب الرديء غريبًا يدعو إلى صراط محمد بن عبد الله صلى الله عليه وسلم، وقد بدأ المسيرة من ألِفِها طالبَ علمٍ نجيبًا متواضعًا حليمًا لفت الأنظار إليه، يقرأ فيحفظ فيَدْري فيفتي على المذاهب الأربعةِ في عمر يناهز الثمانية عشر عامًا في بلاد الحَبشة، كل هذا الإقبال على صنوف العلم وفنونه يصاحبه دقة في ضبطه وهمة في نشره، غير هيّاب بمن يخالف شرعَ الله تعالى، من خاصة وعامة، فهابه الأعداء وأحبه الناس، لينطلق بعدُ في رحاب بلاد الله كالغيث أينما حلّ نفع، قاضيًا كل عمره الذي ناهز مائة عام في ميدان الدعوة الإسلامية تأليفًا وتدريسًا وتوجيهًا وتذكيًرا ووعظًا وإرشادًا، وكلما زاد عمره زاد إصراره على إكمال مسيرة الإرشاد لتوافيه المنية في الثاني من رمضان عام 1429هـ رحمه الله. وقد خلّف جزاه الله خيرًا بعده تلامذة وأحبابًا نشروا الخير في كل واد ونادٍ، على منهاج الخير والبر، لا يحيدون قِيد أنمُلة، وهذه سُنة الله، يموت العالِم ويبقى العلم في أتباعه.

كم مات قومٌ وما ماتت مكارمُهُمْ * وعاش قومٌ وهم في الناسِ أمواتُ


نشأته وسيرته

هو المرشد المربي، الولي الصالح، العالِم الجليل، قدوة المحقّقين، عمدة المدقّقين، صدر العلماء العاملين، الإِمام المحدّث، التقي الزاهد، الفاضل العابد، صاحب المواهب الجليلة، الشيخ أبو عبد الرحمن عبد الله بن محمَّد بن يوسف بن عبد الله بن جامع الشَّيبي العبدري القرشي نسبًا الهرري موطنًا المعروف بالحبشي رضي الله عنه وأسكنه فسيح جناته.

ولد العلامة المحدث الشيخ عبد الله رحمه الله في مدينة هرر في بلاد الحبشة حوالى سنة 1328 هـ = 1910 ر.نشأ في بيت متواضع محبا للعلم ولأهله، فحفظ القرءان الكريم استظهارا وترتيلا وإتقانا وهو قريب العاشرة من عمره في أحد كتاتيب باب السلام في هرر، وأقرأه والده كتاب "المقدمة الحضرمية في فقه السادة الشافعية" للشيخ عبد الله بافضل الحضرمي الشافعي، وكتاب "المختصر الصغير فيما لابد لكل مسلم من معرفته" وهو كتاب مشهور في بلاده. ثم حُبب إليه العلم فأخذ عن بعض علماء بلده وما جاورها، وعكف على الاغتراف من بحور العلم فحفظ عددا من المتون في مختلف العلوم الشرعية.


رحلاته العلمية

لم يكتف رضي الله عنه بعلماء بلدته وما جاورها بل جال في أنحاء الحبشة ودخل أطراف الصومال مثل هرگيسا لطلب العلم وسماعه من أهله وله في ذلك رحلات عديدة لاقى فيها المشاق والمصاعب غير أنه كان لا يأبه لها بل كلما سمع بعالم شدّ رحاله إليه ليستفيد منه وهذه عادة السلف الصالح. وساعده ذكاؤه وحافظته العجيبة على التعمق في الفقه الشافعي وأصوله ومعرفة وجوه الخلاف فيه، وكذا الشأن في الفقه المالكي والحنفي والحنبلي.وأولى علم الحديث اهتمامه روايةً ودرايةً فحفظ الكتب الستة وغيرها بأسانيدها وأجيز بالفتوى ورواية الحديث وهو دون الثامنة عشرة حتى صار يشار إليه بالأيدي والبنان ويقصد وتشد الرحال إليه من أقطار الحبشة والصومال حتى صار على الحقيقة مفتيًا لبلده هرر وما جاورها.ثم رحل إلى مكة المكرمة بعد أن كثر تقتيل العلماء وذلك حوالي سنة 1369 هـ = 1949ر فتعرف على عدد من علمائها كالشيخ العالم السيد علوي المالكي، والشيخ السيد أمين الكتبي، والشيخ محمد ياسين الفاداني، والشيخ حسن مشاط وغيرهم وربطته بهم صداقة وطيدة، وحضر على الشيخ محمد العربي التباني، واتصل بالشيخ عبد الغفور الأفغاني النقشبندي فأخذ منه الطريقة النقشبندية.ورحل بعدها إلى المدينة المنورة واتصل بعدد من علمائها منهم الشيخ المحدث محمد بن علي أعظم الصديقي البكري الهندي الأصل ثم المدني الحنفي وأجازه، واجتمع بالشيخ المحدث إبراهيم الخُتني تلميذ المحدث عبد القادر شلبي وحصلت بينهما صداقة ومودة ثم لازم مكتبة عارف حكمت والمكتبة المحمودية مطالعًا منقبًا بين الأسفار الخطية مغترفًا من مناهلها فبقي في المدينة مجاورًا مدة من الزمن.ثم رحل إلى بيت المقدس حوالي سنة 1370 هـ = 1950 ر ومنه توجه إلى دمشق فاستقبله أهلها بالترحاب لا سيما بعد وفاة محدثها الشيخ بدر الدين الحسني رحمه الله، ثم سكن في جامع القطاط في محلة القيمرية وأخذ صيته في الانتشار فتردد عليه مشايخ الشام وطلبته وتعرف على علمائها واستفادوا منه وشهدوا له بالفضل وأقروا بعلمه واشتهر في الديار الشامية بخليفة الشيخ بدر الدين الحسني وبمحدث الديار الشامية، ثم تنقل في بلاد الشام بين دمشق وبيروت وحمص وحماه وحلب وغيرها من المدن السورية واللبنانية إلى أن استقر ءاخرًا في بيروت.


مشايخه

مشايخ العلامة الشيخ عبد الله الهرري رحمه الله في العلم الشرعي

1- هرر ونواحيها: أخذ عن والده محمد بن يوسف كما تقدم، وعن كبير "معناها في بلاد الحبشة الشيخ العالم" علي شريف القرءان الكريم حفظًا وتجويدًا وترتيلا، وعن العالم النحرير الشيخ الولي محمد بن عبد السلام الهرري الفقه الشافعي والنحو، وقرأ على الشيخ محمد بن عمر جامع الهرري علم التوحيد والفقه الشافعي والنحو، وأخذ عن الشيخ إبراهيم بن أبي الغيث الهرري كتاب "عمدة السالك وعدة الناسك"، وعن الشيخ الصالح أحمد الضرير الملقب بالبصير النحو والصرف والبلاغة، والشيخ محمد بن علي البلبليتي الشافعي علم الفلك والميقات.
2- غربي الحبشة:أخذ في جِمَّه عن الشيخ بشرى گاروكي علم العروض والقوافي، والشيخ محمد شريف الهديي الحبشي كتاب "كشف النقاب عن مخدرات ملحة الإعراب"، وحضر عليه في التفسير، وقرأ على الشيخ عبد الرحمن بن عبد الله الحبشي صحيح مسلم وسنن النسائي كما قرأ عليه مواضع من صحيح ابن حبان والسنن الكبرى للبيهقي ثم أجازه بسائر مروياته، وقرأ على الشيخ يونس گوراكي كتاب "فتح الجواد في شرح الإرشاد لابن المقري" في الفقه الشافعي، وغيرَه.
3- شمالي الحبشة:ارتحل إلى رايّة وهي تبعد عن هرر نحو ألف كيلومتر فقرأ على مفتي الحبشة الشيخ محمد سراج الجبرتي سنن أبي داود وابن ماجه وغير ذلك ثم أجازه بسائر مروياته.ودخل قرية كدو فأخذ عن الشيخ الصالح العارف بالله القارئ أبي هدية الحاج كبير أحمد بن عبد الرحمن الإدريسي الحسني القراءات وسنن الترمذي والبخاري وأجازه، ثم دخل أديس أبابا فأخذ عن الشيخ داود الجبرتي القارئ شرح الجزرية لزكريا الأنصاري وقراءة عاصم وأبي عمر ونافع.
4- المدينة المنورة:اجتمع في المدينة بالشيخ محمد بن علي أعظم الصديقي البكري الهندي الأصل ثم المدني الحنفي وقرأ عليه وأجازه، وحضر على الشيخ محمد العربي التبان المكي المالكي في المسجد الحرام عند باب الزيادة.
5- بلاد الشام:قرأ على الشيخ المقرئ محمود فايز الديرعطاني نزيل دمشق وجامع القراءات السبع القرءان برواية حفص على وجه قصر المنفصل في المدرسة الكاملية وذلك لما سكن صاحب الترجمة دمشق، وأجازه الشيخ محمد الباقر بن محمد بن عبد الكبير الكتاني نزيل دمشق، وسمع الموطأ والأربعين العجلونية وبعضًا من مسند أحمد من الشيخ محمد العربي العزوزي الفاسي نزيل بيروت وأجازه، وتردد على الشيخ محمد توفيق الهبري البيروتي وسمع من لفظه بعضًا من الأربعين العجلونية وأجازه بها.


مشايخ العلامة الشيخ عبد الله الهرري رحمه الله في الطرق الصوفية

أخذ الإجازة بالطريقة الرفاعية من الشيخ محمد علي الحريري الدمشقي، والخلافة من الشيخ عبد الرحمن السبسبي الحموي والشيخ طاهر الكيالي الحمصي.وأخذ الطريقة القادرية من الشيخ الطيب الدمشقي، والخلافة من الشيخ أحمد البدوي السوداني المكاشفي والشيخ أحمد العربيني والشيخ المعمَّر علي مرتضي الديروي الباكستاني.وأخذ الطريقة الشاذلية من الشيخ أحمد البصير في الحبشة.وأخذ النقشبندية من الشيخ عبد الغفور الأفغاني النقشبندي والخلافة من الشيخ المعمَّر علي مرتضي الديروي الباكستاني.وأخذ الخلافة بالطريقة السهروردية والچشتية من الشيخ المعمَّر علي مرتضي الديروي الباكستاني.وبالعموم فهو مجاز بالأربعين طريقة كما مذكور ذلك بالتفصيل في أسانيده.


ثناء أهل العلم عليه

أثنى عليه العديد من علماء وفقهاء الشام منهم: الشيخ عز الدين الخزنوي الشافعي النقشبندي من الجزيرة شمالي سوريا، والشيخ عبد الرزاق الحلبي إمام ومدير المسجد الأموي بدمشق، والشيخ أبو سليمان سهيل الزبيبي، والشيخ ملا رمضان البوطي، والشيخ أبو اليسر عابدين مفتي سوريا، والشيخ عبد الكريم الرفاعي، والشيخ سعيد طناطرة الدمشقي، والشيخ أحمد الحصري شيخ معرة النعمان ومدير معهدها الشرعي، والشيخ عبد الله سراج الحلبي، والشيخ محمد مراد الحلبي، والشيخ صهيب الشامي مدير أوقاف حلب، والشيخ عبد العزيز عيون السود شيخ قراء حمص، والشيخ أبو السعود الحمصي، والشيخ فايز الديرعطاني نزيل دمشق وجامع القراءات السبع فيها، والشيخ عبد الوهاب دبس وزيت الدمشقي، والدكتور الحلواني شيخ القراء في سوريا، والشيخ أحمد الحارون الدمشقي الولي الصالح، والشيخ طاهر الكيالي الحمصي، والشيخ صلاح كيوان الدمشقي، والشيخ عباس الجويجاتي الدمشقي، ومفتي محافظة إدلب الشيخ محمد ثابت الكيالي، ومفتي الرقة الشيخ محمد السيد أحمد، والشيخ نوح القضاه من الأردن وغيرهم خلق كثير.

وأثنى عليه أيضا الشيخ عثمان سراج الدين سليل الشيخ علاء الدين شيخ النقشبندية في وقته، وقد حصلت بينهما مراسلات علمية وأخوية، والشيخ عبد الكريم البياري المدرس في جامع الحضرة الكيلانية ببغداد، والشيخ محمد زاهد الإسلامبولي، والشيخ محمود الحنفي من مشاهير مشايخ الأتراك العاملين الآن بتلك الديار، والشيخان عبد الله وعبد العزيز الغماري محدثا الديار المغربية، والشيخ محمد ياسين الفاداني المكي شيخ الحديث والإسناد بدار العلوم الدينية بمكة المكرمة، والشيخ محمود الطش مفتي إزمير، والشيخ المحدث حبيب الرحمن الأعظم والشيخ محمد زكريا الكندهلوي والشيخ المحدث إبراهيم الختني نزيل المدينة المنورة وغيرهم خلق كثير.


تدريسه للعلوم الشرعية

شرع رحمه الله ورضي عنه بإلقاء الدروس مبكرًا على الطلاب الذين ربما كانوا أكبر منه سنًا فجمع بين التعلم والتعليم في ءان واحد، وانفرد في أرجاء الحبشة والصومال بتفوقه على أقرانه في معرفة تراجم رجال الحديث وطبقاتهم وحفظ المتون والتبحر في علوم السنة واللغة والتفسير والفرائض وغير ذلك حتى إنه لم يترك علمًا من العلوم الإسلامية المعروفة إلا درسه وله فيه باعٌ.

وربما تكلم في علم فيظن سامعه أنه اقتصر عليه في الإحكام وكذا سائر العلوم على أنه إذا حُدّث بما يعرف أنصت إنصات المستفيد فهو كما قال الشاعر:

وتراه يصغي للحديث بسمعه        وبقلبه ولعله أدرى به


قدم أول مرة إلى بيروت حوالي سنة 1370 هـ = 1950 ر فاستضافه كبار مشايخها أمثال الشيخ القاضي محيي الدين العجوز، والشيخ المستشار محمد الشريف، واجتمع في بيته بمفتي عكار الشيخ بهاء الدين الكيلاني وسأل الشيخ في علم الحديث واستفاد منه، واجتمع بالشيخ عبد الوهاب البوتاري إمام جامع البسطا الفوقا والشيخ أحمد اسكندراني إمام ومؤذن جامع برج أبي حيدر واستفادا منه.
ثم اجتمع بالشيخ عبد الرحمن المجذوب وبالشيخ توفيق الهبري وعنده كان يجتمع بأعيان بيروت واستفادا منه، وبالشيخ مختار العلايلي رحمه الله أمين الفتوى السابق الذي أقر بفضله وسعة علمه وهيأ له الإقامة على كفالة دار الفتوى في بيروت ليتنقل بين مساجدها مقيما الحلقات العلمية وذلك بإذن خطي منه. وفي سنة 1389 هـ = 1969 ر وبطلب من مدير الأزهر في لبنان ءانذاك ألقى محاضرة في التوحيد في طلاب الأزهر.


تصانيفه وءاثاره

شغله إصلاح عقائد الناس ومحاربة أهل الإِلحاد وقمع فتن أهل البدع والأَهواء عن التفرّغ للتأليف والتصنيف، ورغم ذلك أعدّ ءاثارًا ومؤلفات قيّمة كثيرة نذكر منها:1. مختصر عبد الله الهرري الكافل بعلم الدين الضروري (طُبع)2. بغية الطالب لمعرفة العلم الديني الواجب (طُبع)3. الصراط المستقيم (طُبع)4. الدليل القويم على الصراط المستقيم (طُبع)5. المقالات السنية في كشف ضلالات أحمد بن تيمية (طُبع)6. صريح البيان في الرد على من خالف القرءان (طُبع)7. عمدة الراغب في مختصر بغية الطالب (طُبع)8. إظهار العقيدة السنية في شرح العقيدة الطحاوية (طُبع)9. التعقب الحثيث على من طعن فيما صح من الحديث (طُبع)10. نصرة التعقب الحثيث على من طعن فيما صح من الحديث (طُبع)11. الروائح الزكية في مولد خير البرية (طُبع)12. شرح ألفية الزبد في الفقه الشافعي (مخطوط)13. شرح متن أبي شجاع في الفقه الشافعي (مخطوط)14. شرح متن العشماوية في الفقه المالكي 15. شرح متممة الآجرومية في النحو 16. التحذير الشرعي الواجب (طُبع)17. شرح البيقونية في المصطلح18. الدر النضيد في أحكام التجويد (طُبع)19. شرح الصفات الثلاث عشرة الواجبة لله تعالى (طُبع)20. العقيدة المنجية، وهي رسالة صغيرة أملاها في مجلس واحد 21. شرح التنبيه للإمام الشيرازي في الفقه الشافعي (لم يكمل)22. شرح منهج الطلاب للشيخ زكريا الأنصاري في الفقه الشافعي 23. شرح كتاب سلم التوفيق إلى محبة الله على التحقيق للشيخ عبد الله باعلوي 24. شرح ألفية السيوطي في مصطلح الحديث (مخطوط)25. قصيدة في الاعتقاد والإرشاد تقع في ستين بيتًا تقريبًا (مخطوط)26. المطالب الوفية شرح العقيدة النسفية (طُبع)27. مختصر كتاب الفتح الرحماني (طُبع)28. الدرة البهية في حل الفاظ العقيدة الطحاوية (طُبع)29. الغارة الإيمانية في رد مفاسد التحريرية (طُبع)30. الشرح القويم في حل ألفاظ الصراط المستقيم (طُبع)31. تنبيه الأنام في بيان علو مقام نبينا محمد (طُبع)32. شرح منظومة الصبان في العروض (مخطوط)33. قواعد مهمة (طُبع)34. رسالة في الرد على قول البعض إن الرسول بعلم كل شىء يعلمه الله (طُبع)35. رسالة في بطلان دعوى أولية النور المحمدي (طُبع)36. منظومة "نصيحة الطلاب" (مخطوط)37. التعاون على النهي عن المنكر (طُبع)38. الكواكب الدرية في مدح خير البرية (طُبع)39. المولد الشريف (طُبع)40. الدليل الشرعي على إثبات عصيان من قاتلهم علي من صحابي أو تابعي


شــمائله

كان العلامة الشيخ عبد الله الهرري رحمه الله، شديد الورع، متواضعًا، صاحب عبادة، كثير الذكر، يشتغل بالعلم والذكر معا، زاهدًا طيب السريرة، شفوقًا على الفقراء والمساكين، كثير البر والإحسان، لا تكاد تجد له لحظة إلا وهو يشغلها بقراءة أو ذكر أو تدريس أو وعظ وإرشاد، عارفًا بالله، متمسّكًا بالكتاب والسنة، حاضر الذهن قوي الحجة ساطع الدليل، حكيمًا يضع الأمور في مواضعها، شديد النكير على من خالف الشرع، ذا همة عالية في الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر لا يخاف في الله لومة لائم حتى هابه أهل البدع والضلال وحسدوه ورموه بالأكاذيب والافتراءات بقصد تنفير الناس منه لكن الله يدافع عن الذين ءامنوا.


وفاته وتشييعه

فجر يوم الثلاثاء الثاني من رمضان عام 1429 هجرية الموافق للثاني من أيلول عام 2008 توفي العلامة الهرري في منزله في بيروت عن ثمانية وتسعين عاما رحمه الله وأعلى في الجنان مقامه. وجرى عصر الثلاثاء تشييعه في بيروت في مأتم حاشد مهيب بحضور حشود كبيرة من مريدي وطلاب الشيخ رحمه الله وأعضاء الهيئة الإدارية في جمعية المشاريع الخيرية الإسلامية تقدمهم رئيس الجمعية سماحة الشيخ حسام قراقيرة وعدد كبير من المشايخ والدعاة ورؤساء جمعيات إسلامية وصوفية وهيئات ومؤسسات خيرية واجتماعية وتربوية، وممثلين عن جمعيات عائلية وشبابية وكشفية ونسائية، وأعضاء مجالس بلدية ومخاتير ووفود شعبية وشخصيات من مختلف مناطق بيروت وجميع المحافظات اللبنانية. وقد نقل جثمان الراحل الكبير رحمه الله من منزله إلى مسجد برج أبي حيدر بعد صلاة الظهر حيث تجمعت الحشود في الشارع الرئيس والشوارع المحيطة بالمسجد، وامتلأ المسجد بالحشود والوفود التي تقاطرت من جميع المناطق لإلقاء نظرة الوداع على الشيخ. واستمر الأمر على هذا الحال إلى أن جاء وقت صلاة العصر حيث أمّ رئيس جمعية المشاريع الخيرية الإسلامية سماحة الشيخ حسام قراقيرة المصلين في صلاة الجنازة على العلامة الشيخ الهرري. بعد ذلك نقل جثمان الراحل إلى عقار مجاور للمسجد حيث ووري الثرى على حسب الشريعة الإسلامية.

وقد أمّ مركز جمعية المشاريع الخيرية الإسلامية في بيروت آلاف المعزين بوفاة العلامة المحدث الشيخ عبد الله الهرري رحمه الله من بينهم ممثل رئيس الجمهورية اللبنانية ، ممثل رئيس مجلس النواب اللبناني ، ممثلو الكتل النيابية في مجلس النواب اللبناني، ممثل جامعة الدول العربية، وفد دار الفتوى في لبنان ، روؤساء حكومة سابقون ، عدد كبير من الوزراء والنواب الحالين والسابقين، ممثل قائد الجيش اللبناني، عدد من سفراء الدول العربية والدول الإسلامية في لبنان، شخصيات قضائية وعسكرية وتربوية واجتماعية وإعلامية ونقابية، رؤساء جمعيات إسلامية وخيرية واجتماعية ، أحزاب لبنانية وفصائل فلسطينية، ورؤساء وأعضاء مجالس بلدية، وحشد كبير من المشايخ والدعاة والعاملين في حقل الدعوة الإسلامية.

وقد تلقى رئيس الجمعية سماحة الشيخ حسام قراقيرة برقيات تعزية ، واتصالات هاتفية من رئيس مجلس الوزراء في لبنان ، رئيس مجلس النواب في لبنان، والعديد من الشخصيات في لبنان والخارج.
* وفي قاعة المشاريع الكبرى في مركز الجمعية في طرابلس استقبل رئيس فرع الجمعية الاستاذ طه ناجي وأعضاء الهيئة الإدارية وفود المعزين.
* وفي مركز الجمعية في بلدة الروضة في البقاع استقبل رئيس فرع الجمعية الشيخ أسامة السيد وأعضاء الهيئة الإدارية وفود المعزين كما أمّ المعزون مركز الجمعية في بعلبك .
* وفي مركز الجمعية في مدينة صيدا استقبل رئيس فرع الجمعية الشيخ خالد حنينة والدكتور عدنان طرابلسي وأعضاء الهيئة الإدارية وفود المعزين.
* وفي إقليم الخروب - جبل لبنان توافد المعزون إلى قاعة مسجد بلدة بعاصير، وقاعة مركز عمر بن الخطاب الإسلامي – مسجد الفاروق في بلدة شحيم.
وقد تقدم المعزون الذين أموا مراكز الجمعية مشايخ ودعاة وشخصيات سياسية وحزبية وقضائية واجتماعية وتربوبة ونقابية وإعلامية فضلا عن الحشود الشعبية التي جاءت لتقديم التعزية برحيل العلامة الشيخ الهرري رحمات الله عليه.
* وفي دمشق العاصمة السورية أقام أنسباء ومريدو وأحباب العلامة الهرري مجلس عزاء في صالة الأكرم حيث حضرت وفود المعزين من مشايخ وشخصيات ومعارف الشيخ خلال فترة إقامته في سوريا ما قبل خمسينيات القرن الماضي. وتخلل الاستقبال كلمات تأبين للفقيد الراحل حيث أبَّنه كل من:
وزير الأوقاف الدكتور محمد الخطيب، الدكتور عبد اللطيف فرفور، النائب الدكتور محمد حبش، الشيخ أسامة عبد الكريم الرفاعي، الشيخ محمد إبراهيم اليعقوبي، الشيخ عبد الجليل العطا، الشيخ جميل حليم، الشيخ أسامة السيد.
* وفي مدينة حمص السورية أقيمت صلاة الجنازة في مسجد سيدنا خالد بن الوليد ومجلس عزاء بمشاركة عدد من المشايخ والشخصيات.
* هذا وقد أقيمت صلاة الغائب ومجالس العزاء على العلامة الشيخ الهرري رحمه الله في عدد كبير من المساجد والمصليات والمراكز الإسلامية في البلاد العربية وأوروبا وآسيا وأستراليا والولايات المتحدة الاميركية وكندا شارك فيها مريدو وطلاب الشيخ وأعضاء الجاليات العربية والإسلامية.


من نصائحه وإرشاداته

قال محدّث الدنيا وسلطان الزمان الولي الصالح الشيخ عبد الله الهرري رضي الله عنه وأرضاه: نحن فئة من المسلمين لا نتبع منهجًا جديدًا ولا فِكرة مُستَحدثة منذ خمسين سَنة، ولا فِكرة مستحدثة منذ مائتي سَنة، ولا فكرة مستحدثة منذ ستمائة سنة، وهذه الأفكار: الأولى لسيد قطب وتقي الدين النبهَاني، والثانية لمحمّد بن عبد الوهّاب، والثالثة لابن تيميَة ومنهَا أخذ ابن عبد الوهّاب بَعض أفكاره.إنّمَّا نَحن عَلى المنهَجِ الذي ينتسِبُ إليه مئات الملايين مِن المسلمين، أشعرية شافعية، أشعرية من حيث العقيدة، وَهي عَقيدة مئاتِ الملايينِ من المسلمين، وَمِن حيث الأحكَام العمليّة نحن شافعيّة. وَالإمام الأشعري هو إمام أهل السُنة الذي لخّص عقيدة الصَحابة والتابعين، كان في القرن الثالث لهجري، وتوفي في أوائل القرن الرابع، لم يأت إلا بإيراد الأدلّة العقليّة والنقليّة، ومَذهب الشافعي مضى عَليه ألف ومَائتا سنة. ولا نستحلّ اغتيال رجَال الحكومَات لأجل أنهم يحكمون بالقانون نحن بريئون من هذه الفِئة. وأمّا مسألة بيان المكَفِّرات في الألفاظ الكفريّة، نحن لا نحمل مذهبًا جديدًا إنما اتبعنا في ذلك أئمة من المذاهب الأربَعة كما يقول الحَافظ مرتضى الزبيدي في شرح إحيَاء عُلوم الدّين: «فقد ألف أئِمّة من المذاهب الأربعة في بَيان الألفاظ الكفريَّة».ولسنا نحن مسخّرين لدولة من الدوَل من أجل المدد المالي والله أعلم. ومن نسبَ إلينا غير ذلك فالله حَسيبه.

Syekh Harori

Allah Tidak Mengalami Perubahan Dalam Dzat Dan SifatNya

Diposkan Oleh: Muhtadi Bantan - Diperbarui Pada: Kamis, 10 November 2011 Pukul 13.29.00



Allah tidak berubah, bahwa Allah tidak dipengaruhi oleh ciptaanNYA, dan oleh peristiwa yang terjadi dalam ciptaanNya seperti yang menyebabkan kemarahan, dll. Allah tidak terpengaruh oleh apa yang kita lakukan, atau oleh apa pun dalam ciptaanNya. Hal ini karena Dia tidak membutuhkan ciptaan dalam hal apapun, dengan cara atau bentuk apapun, Allah itu sempurna sebelum dunia ada dan tidak mendapatkan manfaat dari keberadaannya menjadi lebih sempurna, atau berkurang kesempurnaan karena itu.
Allah berfirman:


ﻓَﺈِﻥَّ اﻟﻠّﻪَ ﻏَﻨِﻲٌّ ﻋَﻦِ اﻟْﻌﻠَﻤِﻴْﻦَ

Artinya: Sesungguhnya Allah sama sekali tidak BUTUH KEPADA SELURUH ALAM. (Al Imran: 97)

Dalam hal ini, diriwayatkan oleh Al-Haitamiyy dalam Majma Az-Zawaa'id, ia menyatakan sanadnya diterima, bahwa seorang Badui berkata dalam do'anya, antara lain:


"ﻭﻻ ﺗﻐﻴﺮﻩ ﺍﻟﺤﻮﺍﺩﺙ"

"(Wahai Dzat yang Satu) yang tidak berubah oleh peristiwa apapun."

Setelah selesai, Nabi memanggil Badui dan memberinya beberapa keping emas, dan beliau bertanya kepadanya: 

"Apakah Anda tahu kenapa aku memberikan emas kepada Anda?"

Dia menjawab,

"karena hubungan keluarga di antara kita Wahai Rasulullah?"

Nabi berkata :

"Ikatan keluarga memiliki hak yang melekat kepada mereka, tapi saya memberi Anda emas untuk keindahan pujian Anda kepada Allah."

Begitu juga yang dimaksud dengan "marah" atau "murka" ketika di sandarkan pada Allah, kita lihat dulu makna MARAH dalam kamus Mufradaat Al-Qur'an Ar-Raagħib.

Al-'Aşfahaaniyy berkata tentang għađab  (murka / marah): yaitu "MENDIDIH darah di hati karena ingin membalas dendam," Lalu ia berkata,

"Jika MARAH disandarkan kepada Allah, maka artinya ALLAH MEMBERI ADZAB, tanpa arti lain. (HAL 361) (1 )"

Dalam kamus Lisaanu-l Arab Ibn ManDħuur meriwayatkan dari ahli bahasa Ibnu Arafah:

"Għađab (murka) pada makhluk adalah sesuatu yang masuk ke hati mereka, sebagian baik dan sebagian buruk. Jenis buruknya adalah ketika tanpa hak, dan jenis baik adalah untuk tujuan agama dan dengan hak. Adapun għađab Allah, ini adalah ketidak setujuan-Nya terhadap mereka yang tidak taat kepada-Nya sehingga Dia menghukum mereka. (2)"

MAKA MAKNA MARAH PADA ALLAH BUKAN BERMAKNA MENDIDIHNYA DARAH DI HATI KARENA INGIN BALAS DENDAM, TOH ITU SIFAT PERUBAHAN, YAKNI DARI GEMBIRA BERUBAH JADI MARAH, TOH GEMBIRA DAN MARAH ITU PEKERJAAN HATI DAN ALLAH TIDAK TERSUSUN DARI JUZ..

DALAM Menjelaskan Q:S Thaha, 81, dimana dinyatakan "GHADHABII", yang makna literalnya "murka saya",. Ibnu Al-Jawziyy mengatakan artinya: "azab- Ku. (3)"

Bahkan dalam kamus bahasa Indonesia kata murka tidak selalu berarti perubahan dalam EMOSI yang dinisbahkan dengan kemarahan. Salah satu definisi dari murka adalah: "hukuman yang menghukum untuk suatu pelanggaran atau kejahatan: Siksaan ilahi"


Adapun Hadiits ini:

"ﺇﻥ ﺭﺑﻲ ﻗﺪ ﻏﻀﺐ ﺍﻟﻴﻮﻡ ﻏﻀﺒﺎ ﻟﻢ ﻳﻐﻀﺐ ﻗﺒﻠﻪ ﻣﺜﻠﻪ ﻭﻟﻦ ﻳﻐﻀﺐ ﺑﻌﺪﻩ ﻣﺜﻠﻪ"

{Jika diterjemahkan secara harfiah artinya :
"Sesungguhnya Tuhanku marah hari ini, tidak seperti marah sebelumnya, dan Ia tidak akan murka seperti itu lagi.")

Imam An-Nawawiyy mengatakan dalam penjelasannya dalam Saĥiiĥ Muslim: Yang dimaksud dengan murka Allah adalah hukuman-Nya kepada mereka yang tidak taat kepadaNya, dan apa yang dilihat oleh mereka (orang- orang di hari kiamat) begitu menyakitkan siksaanNya, dan orang-orang berkumpul (pada hari itu) menjadi saksi adzab yang mengerikan yang belum pernah mereka lihat sebelumnya dan tidak akan pernah lagi mereka lihat sesudahnya. Tidak ada keraguan bahwa ini tidak akan pernah terjadi sebelum hari itu (kiamat), dan seperti tidak akan pernah terulang kembali. Ini adalah arti dari " MARAH Allah," sebagaimana arti dari RIDHO-Nya (terjemahan harfiah: "yang senang"). ketika disandarkan kepada Allah artinya adalah MEMBERI rahmat dan perlakuan lembut kepada mereka yang dikehendaki baik dan martabat yang tinggi. Hal ini karena tidak mungkin Allah berubah menjadi sedang MURKA kemudian berubah menjadi SENANG dll. Wallahu A'lam. (3 / 68 ) (4)


Imam Abu Ĥaniifah mengatakan dalam Al-Fiqh Al-Akbar: "...berubah dan perubahan hanya terjadi pada makhluk ciptaan."

Mengapa Abu Ĥaniifah mengatakan bahwa perubahan dan berubah hanya terjadi pada makhluk?

Karena PERUBAHAN adalah keadaan sesuatu MENJADI BARU, dan semua hal-hal ITU membutuhan pencipta, sebab sebelumnya tidak ada, dan Allah tidak diciptakan, maka Dia tidak berubah. Selain itu, Allah adalah sempurna SECARA MUTLAK.

Barangsiapa mengatakan bahwa Dia berubah, ARTINYA menyiratkan bahwa Ia semakin sempurna, dan SEBELUMNYA TIDAK sempurna, atau kurang sempurna. HAL SEPERTI Ini bukan kepercayaan seorang Muslim.


Imam Ahmad bin Hanbal berkata:

"ﻭﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻟﻢ ﻳﻠﺤﻘﻪ ﺗﻐﻴﺮ ﻭﻻ ﺗﺒﺪﻝ ﻭﻻ ﻳﻠﺤﻘﻪ ﺍﻟﺤﺪﻭﺩ ﻗﺒﻞ ﺧﻠﻖ ﺍﻟﻌﺮﺵ ﻭﻻ ﺑﻌﺪ ﺧﻠﻖ ﺍﻟﻌﺮﺵ"

"Allah Ta'ala tidak berubah atau Mengalami substitusi apapun (dalam Sifat-Nya), dan ALLAH TIDAK dikaitkan DENGAN batas sebelum MENCIPTA ARASY dan setelah MENCIPTAnya ( Itiqaad Al-Imam Al-Mubajjal Ibnu Hanbal, P. 297 ).

"Dengan kata lain, Allah tidak bertempat di atas Arsy. Mengapa para ulama cermat menghindari keyakinan bahwa Allah MENGALAMI PERUBAHAN ??

Jawabannya bahwa perubahan pada kenyataannya adalah ADANYA suatu awal PERMULAAN, dan apa-apa YANG ADA awal PERMULAANnya, PASTI ADA YANG MENGadaKan. Setelah DI ADAKAN, BERARTI keberadaannya ADA YANG MENciptakan, jadi semua YANG ADA awal PERMULAAN PASTI ADA YANG MEMbuat. Dengan kata lain, SEMUA PERubahAN ITU diciptakan. DENGAN mengatakan bahwa Allah itu BERUBAH, SAMA DENGAN mengatakan bahwa SIFATNYA DI ciptakan, dan bahwa Ia MERUPAKAN BAGIAN DARI YANG DI CIPTAKAN. Ini seperti kristen yang mengatakan bahwa Allah memiliki seorang putra, YAKNI Ia adalah bagian DARI pencipta (TUHAN) dan JUGA YANG Mencipta bagian (PUTRA) . OLEH SEBAB ITU, tidak ada kitab suci BISA dipahami DENGAN ADANYA perubahan ALLAH, dan setiap kitab suci yang DHOHIRNYA menyiratkan HAL ini tidak MESTI dipahami SECARA DHOHIR. Seperti BIASANYA, setiap arti YANG DISANDARKAN PADA Sang Pencipta dalam NAS KITAB suci YANG MENGANDUNG kemiripan DENGAN MAHLUK, KITA MESTI MERUJUK PADA PENDAPAT SALAF UNTUK MENDAPAT PENJELASAN. Pada tingkat yang paling dasar, MESTI DI YAKINI bahwa Allah tidak memiliki permulaan, dan bahwa SIFAT-Nya tidak memiliki awal. Alasannya adalah bahwa apa-apa YANG ADA awal PERMULAAN adalah ciptaan / MAHLUK, karena pasti ADA YG MENGAdaKan.

Jadi SIAPA yang mengatakan bahwa Allah MENGALAMI perubahan, MAKA ORANG TERSEBUT tidak hanya mengatakan bahwa Allah menyerupai makhluk-Nya, tetapi IA MENGATAKAN JUGA bahwa ALLAH adalah bagian DARI MAHLUK. Ini adalah pengingkaran MURNI PADA firman Allah:


"ﻟﻴﺲ ﻛﻤﺜﻠﻪ ﺷﻲﺀ"


Artinya: "Sama sekali tidak ada YANG menyerupai- Nya." (Al-Sħuura,11)

berdasarkan AYAT ini, jika Allah tidak menyerupai apapun DARI ciptaan-Nya, maka pasti ALLAH tidak dibuat / TIDAK ADA YG MENCIPTA !

BUKAN hanya itu, tapi DENGAN mengatakan Allah ADA awal / PERMULAAN ITU merusak bukti keberadaan Allah ITU SENDIRI,. Alasannya adalah KARENA Allah bukanlah sesuatu yang BISA DI KETAHUI adaNya berdasarkan pengamatan INDRA SAJA, TETAPI, kita tahu bahwa ALLAH ada karena adanya hal-hal yang memiliki awal, yaitu dunia di sekitar kita. Kita tahu bahwa Allah ada, karena SETIAP SESUATU YANG ADA awal / PERMULAAN, PASTI MeMbutuhKan pencipta, DAN PASTI ADA YANG MENGadaKan. Jika seseorang mengatakan bahwa Allah ADA awal / PERMULAAN, maka dia SAMA DENGAN mengatakan bahwa sesuatu BISA menjadi ada tanpa ADA YANG Mencipta, atau bahwa Allah bukanlah Pencipta, atau bahwa Allah DI CIPTAKAN OLEH sendiriNya. Dalam dua kasus pertama, buktinya jelas TIDAK ADA, Dalam kasus terakhir itu juga SAMA TIDAK ADA, karena jika sesuatu dapat menjadi bagian DARI YANG Mencipta dan ciptaan bagian DARINYA, maka bagaimana BISA menghilangkan keraguan tentang dunia tidak BISA ADA DENGAN sendirinya ( MENCIPTA SENDIRI )? Untuk alasan ini, KITA menemukan Wahabi selalu takut MENGEMUKAKAN bukti keberadaan Allah, karena bukti ini juga membuktikan bahwa mereka salah. Bukti ini semua berkisar pada kenyataan bahwa SESUATU tidak memiliki PERubahAN atau awal PERMULAAN tanpa ADANYA YANG Mencipta.

  1. اﻟﻤﻔﺮﺩﺍﺕ ﻓﻲ ﻏﺮﻳﺐ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ, ﺍﺳﻢ ﺍﻟﻤﺆﻟﻒ:ﺃﺑﻮ ﺍﻟﻘﺎﺳﻢ ﺍﻟﺤﺴﻴﻦ ﺑﻦ ﻣﺤﻤﺪ ﻮﻓﺎﺓ: 502هـ,ﺩﺍﺭ ﺍﻟﻨﺸﺮ:ﺍﻟﻤﻌﺮﻓﺔ ﺩﺍﺭاﻟﺒﻨﺎﻥ,ﺗﺤﻘﻴﻖ: ﻣﺤﻤﺪ ﺳﻴﺪ ﻛﻴﻼﻧﻲ. ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻤﺆﻟﻒ: ﻭﺇﺫﺍ ﻭﺻﻒ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺑﻪ ﻓﺎﻟﻤﺮﺍﺩ ﺑﻪ ﺍﻻﻧﺘﻘﺎﻡ ﺩﻭﻥ ﻏﻴﺮﻩ. ﺍﻟﻤﻔﺮﺩﺍﺕ ﻓﻲ ﻏﺮﻳﺐ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﺝ 1 ﺹ 361
  2. ﻟﺴﺎﻥ ﺍﻟﻌﺮﺏ (ﺝ1/ﺹ648): ﻗﺎﻝ ﺍﺑﻦ ﻋﺮﻓﺔ ﺍﻟﻐﻀﺐ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺨﻠﻮﻗﻴﻦ ﺷﻲﺀ ﻳﺪﺍﺧﻞ ﻗﻠﻮﺑﻬﻢ ﻭﻣﻨﻪ ﻣﺤﻤﻮﺩ ﻭﻣﺬﻣﻮﻡ ﻓﺎﻟﻤﺬﻣﻮﻡ ﻣﺎ ﻛﺎﻥ ﻓﻲ ﻏﻴﺮ ﺍﻟﺤﻖ ﻭﺍﻟﻤﺤﻤﻮﺩ ﻣﺎ ﻛﺎﻥ ﻓﻲ ﺟﺎﻧﺐ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﻭﺍﻟﺤﻖ ﻭﺃﻣﺎ ﻏﻀﺐ ﺍﻟﻠﻪ ﻓﻬﻮ ﺇﻧﻜﺎﺭﻩ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ ﻋﺼﺎﻩ ﻓﻴﻌﺎﻗﺒﻪ
  3. ﺯﺍﺩ ﺍﻟﻤﺴﻴﺮ (361): ﻗﻮﻟﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ: {ﻓﻴﺤﻞ ﻋﻠﻴﻜﻢ ﻏﻀﺒﻲ} ﺃﻱ: ﻓﺘﺠﺐ ﻟﻜﻢ ﻋﻘﻮﺑﺘﻲ
  4. .ﺷﺮﺡ ﺍﻟﻨﻮﻭﻱ ﻋﻠﻰ ﻣﺴﻠﻢ (ﺝ 3/ﺹ 68): ﺍﻟﻤﺮﺍﺩ ﺑﻐﻀﺐ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻣﺎ ﻳﻈﻬﺮ ﻣﻦ ﺍﻧﺘﻘﺎﻣﻪ ﻣﻤﻦ ﻋﺼﺎﻩ ﻭﻣﺎ ﻳﺮﻭﻧﻪ ﻣﻦ ﺃﻟﻴﻢ ﻋﺬﺍﺑﻪ, ﻭﻣﺎ ﻳﺸﺎﻫﺪﻩ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻤﺠﻤﻊ ﻣﻦ ﺍﻷﻫﻮﺍﻝ ﺍﻟﺘﻲ ﻟﻢ ﺗﻜﻦ ﻭﻻ ﻳﻜﻮﻥ ﻣﺜﻠﻬﺎ, ﻭﻻ ﺷﻚ ﻓﻲ ﺃﻥ ﻫﺬﺍ ﻛﻠﻪ ﻟﻢ ﻳﺘﻘﺪﻡ ﻗﺒﻞ ﺫﻟﻚ ﺍﻟﻴﻮﻡ ﻣﺜﻠﻪ ﻭﻻ ﻳﻜﻮﻥ ﺑﻌﺪﻩ ﻣﺜﻠﻪ ﻓﻬﺬﺍ ﻣﻌﻨﻰ ﻏﻀﺐ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻛﻤﺎ ﺃﻥ ﺭﺿﺎﻩ ﻇﻬﻮﺭ ﺭﺣﻤﺘﻪ ﻭﻟﻄﻔﻪ ﺑﻤﻦ ﺃﺭﺍﺩ ﺑﻪ ﺍﻟﺨﻴﺮ ﻭﺍﻟﻜﺮﺍﻣﺔ; ﻷﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻳﺴﺘﺤﻴﻞ ﻓﻲ ﺣﻘﻪ ﺍﻟﺘﻐﻴﺮ ﻓﻲ ﺍﻟﻐﻀﺐ ﻭﺍﻟﺮﺿﺎﺀ. ﻭﺍﻟﻠﻪ ﺃﻋﻠﻢ

Cinta Ilahi Rabi’ah al-Adawiyah

Diposkan Oleh: Muhtadi Bantan - Diperbarui Pada: Pukul 12.28.00



Cinta Ilahi Rabi’ah al-Adawiyah
Cinta Ilahi (al-Hubb al-Ilah) dalam pandangan kaum sufi memiliki nilai tertinggi. Bahkan kedudukan mahabbah dalam sebuah maqamat sufi tak ubahnya dengan maqam ma’rifat, atau antara mahabbah dan ma’rifat merupakan kembar dua yang satu sama lain tidak bisa dipisahkan. Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusi mengatakan, cinta para sufi dan ma’rifat itu timbul dari pandangan dan pengetahuan mereka tentang cinta abadi dan tanpa pamrih kepada Allah. Cinta itu timbul tanpa ada maksud dan tujuan apa pun.



Apa yang diajarkan Rabi’ah melalui mahabbah-nya, sebenarnya tak berbeda jauh dengan yang diajarkan Hasan al-Bashri dengan konsep khauf (takut) dan raja’ (harapan). Hanya saja,
jika Hasan al-Bahsri mengabdi kepada Allah didasarkan atas ketakutan masuk neraka dan harapan untuk masuk surga, maka mahabbah Rabi’ah justru sebaliknya. Ia mengabdi kepada Allah bukan lantaran takut neraka maupun mengharapkan balasan surga, namun ia mencinta Allah lebih karena Allah semata. Sikap cinta kepada dan karena Allah semata ini misalnya tergambar dalam sya’ir Rabi’ah sebagai berikut:

Ya Allah, jika aku menyembah-Mu,
karena takut pada neraka,
maka bakarlah aku di dalam neraka.
Dan jika aku menyembah-Mu karena mengharapkan surga,
campakkanlah aku dari dalam surga.
Tetapi jika aku menyembah-Mu, demi Engkau,
janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajah-Mu,
yang Abadi kepadaku.

Nasihat Untuk Gadis Kecilku

Diposkan Oleh: Muhtadi Bantan - Diperbarui Pada: Sabtu, 05 November 2011 Pukul 21.58.00



Nasihat Untuk Gadis Kecilku
Duhai Gadisku tersayang...

Bersyukurlah menjadi wanita muslimah.
Kau menyadari bahwa wajahmu cantik mempesona,terpelihara bukan hanya milikmu.namun titipan Yang Maha Kuasa.

Dikaruniai wajah justru takut kepadaNYA.karena tiada sedikit yang dikaruniai wajah indah justru menghantarkan dirinya kejurang api neraka.

Rambutmu nan indah,.kaututup karena keta'atanmu padaNYA.
Karena dirimu sadar bahwa neraka tiada sanggup membakar sesuatu

Awal Kewajiban Bagi Mukallaf

Diposkan Oleh: Muhtadi Bantan - Diperbarui Pada: Kamis, 03 November 2011 Pukul 03.33.00





بسم الله الرحمن الرحيم

وَيَجِبُ عَلَى كُلِّ مُكَلَّفٍ شَرْعًا أّنْ يَعْرِفَ مَا يَجِبُ فِي حَقِّ مَوْلاَنَا جَلَّ وَعَزَّ، وَمَا يَسْتَحِلُ، وَمَا يَجُوزُ. وَكَذَا يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يَعْرِفَ مِثْلَ ذلِكَ فِي حَقِّ الرُّسُلِ عَلَيْهِمُ الصَّلاَةُ وّالسَّلاَمُ
لأنه بمعرفة ذلك يكون مؤمنا محققا على بصيرة فى دينه

Wajib bagi setiap mukallaf menurut hukum syar'i untuk mengetahui sifat sifat yang wajib,mustahil dan jaiz bagi allah subhanahu wa ta'ala dan pada seluruh utusanya.Karena dengan mengetahui demikian itu maka seseorang akan menjadi mukmin yang sejati yang berpegang pada tali agama dengan bashiroh.


Keutamaan Suratul-Fatihah

Diposkan Oleh: Muhtadi Bantan - Diperbarui Pada: Sabtu, 29 Oktober 2011 Pukul 21.31.00


Keutamaan Suratul-Fatihah
 Surat Al-Fatihah amat masyhur, namun banyak di antara kita tak mengetahui fadhilah, dan keutamaannya. Padahal banyak sekali hadits-hadits yang menunjukkan keutamaannya, baik dari sisi kandungan atau kedudukannya di sisi Allah -Azza wa Jalla-. Diantara fadhilah dan keutamaan Surat Al-Fatihah:

Surat yang Paling Agung

Orang yang membaca Al-Fatihah akan mendapatkan balasan pahala yang besar di sisi Allah. Terlebih lagi jika ia membacanya dengan ikhlash, dan mentadabburi maknanya.

Abu Sa’id bin Al-Mu’allaa -radhiyallahu ‘anhu- berkata,

Mertua vs menantu, ....."walau bi syirifitin............"

Diposkan Oleh: Muhtadi Bantan - Diperbarui Pada: Minggu, 23 Oktober 2011 Pukul 17.08.00




Alkisah seorang tokoh di kampung yang mempunyai anak seorang gadis di juluki si bunga desa, hampir tiap hari ada saja orang datang ke rumahnya, sudah tentu ingin meminang anaknya.
namun, tak satupun lelaki yang cocok di hati ayahnya, maka dibuatlah sayembara ke seluruh negeri, dicari calon menantu, dgn siapa saja yang jadi, biar tampang alakadar & bapet yang penting santri,

Singkat kata, habar tsb menyebar menjadi bahan pembahasan, hampir di tiap tempat ada kesempatan kongkow, orang-orang selalu membicarakan sayembara ini, tak terkecuali Sadun, seorang pemuda, boro-boro mengenyam jenjang pendidikan, apalagi merasakan pahit getir manisnya kobong rombeng, tempat menghuni para penuntut ilmu, bahkan sama sekali belum pernah mesantren apalagi mengaji.


Dengan bermodalkan keberanian dan tekad ingin jadi menantu
Singkat cerita, Sadun memakai sarung dan kopiah, dan menenteng tegel lantai yang di bungkus kertas, layaknya ustadz menenteng kitab.

Awalnya dia memakai taktik dan cara, hampir di tiap waktu adzan dia sudah ada paling awal masuk surau ikut berjamaah, & keluarnya pun terakhir sekali setelah semunya pergi.
Dan ternyata, tokoh tadi memperhatikan dengan seksama, siapa lelaki ini?, amat beda dari warga sekitar, pikirnya, bisa jad idia seorang calon menantu yang di tunggu-tunggu.

Dgn perlahan Kiai pun b'tanya,
"jang, apa itu bungkusan yg di bawa?", dengan tidak bertanya lagi dari mana asalnya, sangking kepengen punya mantu yang kelihatannya orang baik,

"ini adalah KITABUN UBIN", jawab Sadun singkat.

Lanjut cerita, Sadun jd nikah dgn bunga desa.

Tiap mertua mempunyai masalah keagamaan, selalu bertanya pada menantu, karena dia pasti tahu, wong namanya santri.........!!!!

"nanti akan ku buka dulu kitabnya Bah"
ujarnya,sembari membuka bungkusan, &
melanjutkan keterangannya

"ini menurut keterangan isi kitab, masalah makanan ini
-halalun 'alal minan, haromumun 'alal mithoh
-boleh untuk saya, tak boleh buat bapak",

"walaupun airnya juga?", mertua melanjutkan pertanyaan,

"walau bi syiripitin" walau sedikit saja, ga boleh......
.....................................
m a n t a p

Mertua vs menantu "..Walau...bissyirifitiiin......."

Hiasan Dunia

Diposkan Oleh: Muhtadi Bantan - Diperbarui Pada: Sabtu, 22 Oktober 2011 Pukul 15.59.00


Rasulullah SAW dalam sabdanya, “Dunia seluruhnya adalah perhiasan, dan perhiasan yang terindah adalah wanita yang shalihah.”
Awal kata dengn Basmalah, Hamdalah serta Shalawat salam pada Rasulillah Shallallahu 'Alaihi wa alihi Wasallam. Amma ba'd. Sudah menjadi bukan rahasia umum lagi seorang pria melebihi wanita dalam berbagai unsur, diawali dari wujud kasar hingga yang halus sehalus-halusnya, Perangainya, watak, prilaku, sifat dan tabiat alami, hanya dipunyai wanita dengan tidak ada sedikitpun pada lelaki secara keseluruhan. Lemah lembut, penuh perasaan, halus dalam tutur sapa, lembut dalam perbuatan, tak dimiliki seorang manusia yang namanya pria.

Segarang-garangnya wanita takkan memenuhi karakter pria dalam tongkrongan fisik, walau dengan ada yag lain seumpama badan kekar bak pria, itu hanya titika nadzir saja, sebab diciptakan demikian, agar ada pembeda dari pria, dimana lemah gemulainya wanita tiada di punyai pria, menjadikan ciri khas yang dimiliki,

Namun perlu di ketahui!

Sepintar apapun wanita, segagah apapun dia, selalu di bawah pria dalam hakikat pangkat dan derajatnya, sesuai dgn

الرجال قوّامون علي النسآء.........الخ

AR RIJALU QOWWAMUNA 'ALAN NISA.......
Pria mengungguli banyak wanita........,QS. Annisa

Akan tetapi tahukah kalian bahwa wanita pula mempunyai sifat lebih dari diri seorang pria. Wanita kuat sendiri saja kemana-mana membawa bukit menjulang dua, sementara pria hanya membawa dua butir telur saja merasa kewalahan hingga harus di bantu.


Ada 10 Bentuk Penghormatan Islam Terhadap Kaum Perempuan

Pertama: Meskipun perempuan tercipta untuk laki-laki, namun perempuan hanya bisa di gauli oleh kaum laki-laki hanya dengan pernikahan yang sah. Islam jelas-jelas melarang segala macam perzinaan dan seks bebas. Hal itu tak lain dalam rangka melindungi kehormatan kaum perempuan dan hak-hak mereka dalam relasi laki-laki dan perempuan. Dengan pernikahan maka nasab (keturunan) akan terpelihara dan terhormat (diakui). Dan dengan pernikahan pula perempuan terlindungi dalam kehidupan sosial, bisa membangun sebuah keluarga dan tidak mudah tercampakkan atau dieksploitasi dengan semau-mau kaum laki-laki.

Kedua: Islam memerintahkan kaum perempuan untuk menutup auratnya (termasuk mengenakan jilbab). Hal ini lebih menunjukkan identitas perempuan muslimah agar tidak mudah dilecehkan, diganggu atau ‘dinikmati’ auratnya oleh setiap mata yang menatap. Dengan jilbab perempuan akan lebih dihormati dan terkesan lebih anggun, jauh dari kesan ‘nakal’. Dengan menutup aurat maka aka tercipta situasi bergaul yang relatif tenang dan kondusif, tidak banyak membuka peluang pikiran kotor kaum laki-laki.

Ketiga: Dalam relasi laki-laki dan perempuan dalam kehidupan rumah tangga, hak-hak kaum perempuan sesuai dengan kewajiban mereka. Kaum laki-laki memiliki hak atas kaum perempuan sebagaimana juga kaum perempuan memiliki hak atas kaum laki-laki. Itulah bentuk nilai-nilai mulia dalam kehidupan berumah tangga. Hak tersebut harus diberikan dengan cara yang baik. Allah SWT berfirman yang artinya:
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf (baik)”QS al-Baqarah: 228.
Keempat: Sebelum Islam datang, hak-hak waris bagi kaum perempuan kerap terabaikan. Dan setelah Islam datang, maka hak waris perempuan menjadi terlindungi dan proporsional. Dengan hukum waris yang ditetapkan oleh Islam, maka kaum perempuan tidak lagi teraniaya sebagaimana yang terjadi di era Jahiliyah. Dalam kehidupan sosial, laki-laki lebih banyak memikul kewajiban dibanding perempuan seperti halnya kewajiban memberi nafkah, membayar mas kawin dalam perkawinan, kewajiban melindungi keamanan keluarga, maka wajar bila bagian waris laki-laki relatif lebih banyak dari pada perempuan. Islam memberikan tuntunan yang proporsional berdasarkan kemaslahatan bersama.

Kelima: Islam mewajibkan perlakuan adil laki-laki terhadap perempuan. Keadilan mutlak dibutuhkan dalam rangka membangun hubungan rumah tangga yang harmonis dan tentram. Jika kebetulan kaum laki-laki berpoligami, maka keadilan dalam nafkah, menggauli, menyediakan sarana dan mengajak bepergian merupakan kewajiban yang harus benar-benar diperhatikan. Sangat dicela oleh agama maupun sosial manakala pelaku poligami melanggar kode etik tersebut. Jika Anda tidak sanggup berlaku adil pada para isteri maka bahagiakan saja diri Anda dengan hanya satu isteri.

Keenam: Islam tidak membolehkan laki-laki memaksakan kehendak kepada perempuan (yang ditinggal mati suaminya) untuk serta merta dijadikan isterinya. Janda dari orang lain tidak boleh kita ‘waris’ sehingga kita menikahi mereka dengan paksa. Islam sangat menjunjung tinggi hak-hak janda sehingga kewenangan menikah ada pada tangan janda itu sendiri, bukan pada walinya. Jika wali seorang gadis sah-sah saja menikahkan dengan ‘paksa’ anak gadisnya, maka hak wali tersebut tidak berlaku kepada para janda. Kaum laki-laki (suami) juga berkewajiban menggauli isterinya dengan baik, seperti; memberikan nafkah dengan wajar, memperlakukan dengan lemah lembut dan sebagainya. Allah SWT berfirman yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu memusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka dengan secara patut” QS an-Nisaa’: 19.
Ketujuh: Diharamkannya suami melakukan dhihar dan ilaa’. Dhihar adalah ucapan suami kepada isteri yang berisi penyamaan isterinya dengan ibunya si suami atau salah satu mahramnya. Sedangkan ilaa’ adalah pernyataan sumpah si suami untuk tidak menggauli (melakukan hubungan badan) dengan isterinya. Kedua hal tersebut dilarang oleh agama karena keduanya merupakan perbuatan tidak etis (munkar) dan berpotensi mengganggu keharmonisan hubungan suami-isteri. Artinya, si isteri tidak digauli tidak pula diceraikan. Itu merupakan bentuk perlakuan semena-mena dan membuat derita kepada isteri.

Islam tidak tanggung-tanggung dalam memberikan sanksi atas orang yang melakukan kedua hal itu. Dalam ilaa’ maka si suami harus mengambil resiko menunggu masa 4 bulan, lalu baru bisa kembali menggauli isterinya dengan cara membayar kafarat-nya sumpah atau dengan menceraikan isterinya tersebut. Sedangkan sanksi untuk orang yang melakukan dhihar adalah dengan cara memerdekakan budak, jika tidak menemukan, maka harus berpuasa selama 2 bulan berturut-turut, dan jika tidak mampu maka harus memberi makan 60 orang miskin. Dengan begitu maka kaum laki-laki tidak akan sembarangan memperlakukan kaum perempuan.

Kedelapan: Diberlakukannya hukum-hukum rukhshah (dispensasi) bagi kaum perempuan dalam hal-hal tertentu dan kondisi-kondisi tertentu. Perempuan tidak boleh di bunuh dalam peperangan, dan tidak pula diwajibkan ikut berperang di medan tempur. Dalam masa-masa menstruasi perempuan tidak dikenakan wajib shalat, tidak boleh dijamah (disetubuhi) oleh suami dan tidak wajib berpuasa di hari itu. Perempuan tidak wajib mencari nafkah selagi ada suami.

Kesembilan: Tidak adanya dikotomi antara kaum perempuan dan kaum laki-laki dalam hal pahala amal dan ibadah. Tidak adanya pembedaan dalam status kehambaannya di hadapan Allah. Allah SWT berfirman yang artinya:
“SesungguhnyaAku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal diantara kamu, baik laki-laki atau perempuan, sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain”. QS Ali Imran : 195.
Kesepuluh: Dalam al-Qur’an ada satu surat dengan nama an-Nisaa’ (Wanita). Surah ini terdiri atas 167 ayat, Ayat pertama sampai dengan 35 mengupas tuntas masalah-masalah wanita, khususnya menyangkut relasinya dengan kaum laki-laki. Begitu pula pada ayat 167.

Disamping surah an-Nisaa’ masih ada lagi surah-surah lain yang mengupas masalah wanita seperti surah al-Mujadilah, ath-Thalaq, dan al-Mumtahanah. Ini semua merupakan bentuk penghormatan al-Qur’an terhadap kaum wanita.

Sebenarnya masih banyak bentuk penghormatan Islam terhadap kaum wanita, namun catatan ringkas ini tidak mungkin menjabarkan semuanya. Kepada kaum perempuan Muslimah tidak perlu Anda merasa rendah diri karena menjadi perempuan Muslimah, meskipun Anda tidak pernah terekspos dalam pentas global sebagaimana para selebriti kelas dunia maupun para kontestan kontes-kontes kecantikan. Percayalah bahwa Allah SWT telah memberikan penghargaan tiada ternilai kepada para perempuan shalihah, baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Majalah Cahaya Nabawiy, Edisi No.57 Th. V Dzulhijjah 1428 H / Januari 2007 M.

Nama-Nama Ahli Badar Al-Kubro

Diposkan Oleh: Muhtadi Bantan - Diperbarui Pada: Selasa, 20 September 2011 Pukul 21.45.00



  1. Sayyiduna Muhammad Rasulullah S.A.W. 
  2. Abu Bakar al-Siddiq r.a. 
  3. Umar bin al-Khattab r.a. 
  4. 'Utsman bin Affan r.a. 
  5. Ali bin Abu Tolib r.a. 
  6. Talhah bin ‘'Ubaidillah r.a. 
  7. Bilal bin Rabbah r.a. 
  8. Hamzah bin Abdul Muttolib r.a. 
  9. Abdullah bin Jahsyi r.a. 
  10. Al-Zubair bin al-'Awwam r.a. 
  11. Mus’ab bin 'Umair bin Hasyim r.a. 
  12. Abdur Rahman bin ‘Auf r.a. 
  13. Abdullah bin Mas’ud r.a. 
  14. Sa’ad bin Abi Waqqas r.a. 
  15. Abu Kabsyah al-Faris r.a. 
  16. Anasah al-Habsyi r.a. 
  17. Zaid bin Haritsah al-Kalbi r.a. 
  18. Martsad bin Abi Martsad al-Ghanawi r.a. 
  19. Abu Martsad al-Ghanawi r.a. 
  20. Al-Husain bin al-Harits bin Abdul Muttolib r.a. 
  21. ‘'Ubaidah bin al-Harits bin Abdul Muttolib r.a. 
  22. Al-Tufail bin al-Harits bin Abdul Muttolib r.a. 
  23. Mistah bin Usasah bin ‘Ubbad bin Abdul Muttolib r.a. 
  24. Abu Huzaifah bin ‘'Utbah bin Rabi’ah r.a. 
  25. Subaih (maula Abi ‘Asi bin Umaiyyah) r.a. 
  26. Salim (maula Abu Huzaifah) r.a. 
  27. Sinan bin Muhsin r.a. 
  28. ‘Ukasyah bin Muhsin r.a. 
  29. Sinan bin Abi Sinan r.a. 
  30. Abu Sinan bin Muhsin r.a. 
  31. Syuja’ bin Wahab r.a. 
  32. ‘'Utbah bin Wahab r.a. 
  33. Yazid bin Ruqais r.a. 
  34. Muhriz bin Nadhlah r.a. 
  35. Rabi’ah bin Aksam r.a. 
  36. Tsaqfu bin 'Amir r.a. 
  37. Malik bin 'Amir r.a. 
  38. Mudlij bin 'Amir r.a. 
  39. Abu Makhsyi Suwaid bin Makhsyi al- To’i r.a. 
  40. ‘'Utbah bin Ghazwan r.a. 
  41. Khabbab (maula ‘'Utbah bin Ghazwan) r.a. 
  42. Hathib bin Abi Balta’ah al-Lakhmi r.a. 
  43. Sa’ad al-Kalbi (maula Hathib) r.a. 
  44. Suwaibit bin Sa’ad bin Harmalah r.a. 
  45. 'Umair bin Abi Waqqas r.a. 
  46. Al-Miqdad bin 'Amru r.a. 
  47. Mas’ud bin Rabi’ah r.a. 
  48. Zus Syimalain 'Amru bin 'Amru r.a. 
  49. Khabbab bin al-Arat al-Tamimi r.a. 
  50. 'Amir bin Fuhairah r.a. 
  51. Suhaib bin Sinan r.a. 
  52. Abu Salamah bin Abdul Asad r.a. 
  53. Syammas bin 'Utsman r.a. 
  54. Al-Arqam bin Abi al-Arqam r.a. 
  55. 'Ammar bin Yasir r.a. 
  56. Mu’attib bin ‘Auf al-Khuza’i r.a. 
  57. Zaid bin al- Khattab r.a. 
  58. 'Amru bin Suraqah r.a. 
  59. Abdullah bin Suraqah r.a. 
  60. Sa’id bin Zaid bin 'Amru r.a. 
  61. Mihja bin Akk (maula Umar bin al-Khattab) r.a. 
  62. Waqid bin Abdullah al-Tamimi r.a. 
  63. Khauli bin Abi Khauli al-Ijli r.a. 
  64. Malik bin Abi Khauli al-Ijli r.a. 
  65. 'Amir bin Rabi’ah r.a. 
  66. 'Amir bin al-Bukair r.a. 
  67. Aqil bin al-Bukair r.a. 
  68. Khalid bin al-Bukair r.a. 
  69. Iyas bin al-Bukair r.a. 
  70. 'Utsman bin Maz’un r.a. 
  71. Qudamah bin Maz’un r.a. 
  72. Abdullah bin Maz’un r.a. 
  73. Al-Saib bin 'Utsman bin Maz’un r.a. 
  74. Ma’mar bin al-Harits r.a. 
  75. Khunais bin Huzafah r.a. 
  76. Abu Sabrah bin Abi Ruhm r.a. 
  77. Abdullah bin Makhramah r.a. 
  78. Abdullah bin Suhail bin 'Amru r.a. 
  79. Wahab bin Sa’ad bin Abi Sarah r.a. 
  80. Hatib bin 'Amru r.a. 
  81. 'Umair bin Auf r.a. 
  82. Sa’ad bin Khaulah r.a. 
  83. Abu 'Ubaidah 'Amir al-Jarah r.a. 
  84. 'Amru bin al- Harits r.a. 
  85. Suhail bin Wahab bin Rabi’ah r.a. 
  86. Safwan bin Wahab r.a. 
  87. 'Amru bin Abi Sarah bin Rabi’ah r.a. 
  88. Sa’ad bin Mu'adz r.a. 
  89. 'Amru bin Mu'adz r.a. 
  90. Al-Harits bin Aus r.a. 
  91. Al-Harits bin Anas r.a. 
  92. Sa’ad bin Zaid bin Malik r.a. 
  93. Salamah bin Salamah bin Waqsyi r.a. 
  94. ‘Ubbad bin Waqsyi r.a. 
  95. Salamah bin Tsabit bin Waqsyi r.a. 
  96. Rafi’ bin Yazid bin Kurz r.a. 
  97. Al-Harits bin Khazamah bin ‘'Adi r.a. 
  98. Muhammad bin Maslamah al-Khazraj r.a. 
  99. Salamah bin Aslam bin Harits r.a. 
  100. Abul Haitsam bin al-Tayyihan r.a. 
  101. 'Ubaid bin Tayyihan r.a. 
  102. Abdullah bin Sahl r.a. 
  103. Qatadah bin Nu’man bin Zaid r.a. 
  104. 'Ubaid bin Aus r.a. 
  105. Nasr bin al-Harits bin ‘Abd r.a. 
  106. Mu’attib bin 'Ubaid r.a. 
  107. Abdullah bin Thariq al-Ba’lawi r.a. 
  108. Mas’ud bin Sa’ad r.a. 
  109. Abu Absi Jabr bin 'Amru r.a. 
  110. Abu Burdah Hani bin Niyyar al-Ba’lawi r.a. 
  111. 'Ashim bin Tsabit bin Abi al-Aqlah r.a. 
  112. Mu’attib bin Qusyair bin Mulail r.a. 
  113. Abu Mulail bin al-Az’ar bin Zaid r.a. 
  114. 'Umair bin Mab’ad bin al-Az’ar r.a. 
  115. Sahl bin Hunaif bin Wahib r.a. 
  116. Abu Lubabah Basyir bin Abdul Mundzir r.a. 
  117. Mubasyir bin Abdul Mundzir r.a. 
  118. Rifa’ah bin Abdul Mundzir r.a. 
  119. Sa’ad bin 'Ubaid bin al-Nu’man r.a. 
  120. ‘Uwaim bin Sa’dah bin ‘Aisy r.a. 
  121. Rafi’ bin Anjadah r.a. 
  122. 'Ubaidah bin Abi ‘'Ubaid r.a. 
  123. Tsa’labah bin Hatib r.a. 
  124. Unais bin Qatadah bin Rabi’ah r.a. 
  125. Ma’ni bin 'Adi al-Ba’lawi r.a. 
  126. Tsabit bin Akhram al-Ba’lawi r.a. 
  127. Zaid bin Aslam bin Tsa’labah al- Ba’lawi r.a. 
  128. Rib’ie bin Rafi’ al-Ba’lawi r.a. 
  129. 'Ashim bin 'Adi al-Ba’lawi r.a. 
  130. Jubr bin ‘Atiq r.a. 
  131. Malik bin Numailah al-Muzani r.a. 
  132. Al-Nu’man bin ‘Asr al-Ba’lawi r.a. 
  133. Abdullah bin Zubair r.a. 
  134. 'Ashim bin Qais bin Tsabit r.a. 
  135. Abu Dhayyah bin Tsabit bin al-Nu’man r.a. 
  136. Abu Hayyah bin Tsabit bin al-Nu’man r.a. 
  137. Salim bin 'Amir bin Tsabit r.a. 
  138. Al-Harits bin al-Nu’man bin Umayyah r.a. 
  139. Khawwat bin Zubair bin al-Nu’man r.a. 
  140. Al-Mundzir bin Muhammad bin ‘Uqbah r.a. 
  141. Abu ‘Uqail bin Abdullah bin Tsa’labah r.a. 
  142. Sa’ad bin Khaitsamah r.a. 
  143. Mundzir bin Qudamah bin Arfajah r.a. 
  144. Tamim (maula Sa’ad bin Khaitsamah) r.a. 
  145. Al-Harits bin Arfajah r.a. 
  146. Kharijah bin Zaid bin Abi Zuhair r.a. 
  147. Sa’ad bin al- Rabi’ bin 'Amru r.a. 
  148. Abdullah bin Rawahah r.a. 
  149. Khallad bin Suwaid bin Tsa’labah r.a. 
  150. Basyir bin Sa’ad bin Tsa’labah r.a. 
  151. Sima’ bin Sa’ad bin Tsa’labah r.a. 
  152. Subai bin Qais bin ‘Isyah r.a. 
  153. ‘Ubbad bin Qais bin ‘Isyah r.a. 
  154. Abdullah bin Abbas r.a. 
  155. Yazid bin al-Harits bin Qais r.a. 
  156. Khubaib bin Isaf bin ‘'Atabah r.a. 
  157. Abdullah bin Zaid bin Tsa’labah r.a. 
  158. Huraits bin Zaid bin Tsa’labah r.a. 
  159. Sufyan bin Bisyr bin 'Amru r.a. 
  160. Tamim bin Ya’ar bin Qais r.a. 
  161. Abdullah bin 'Umair r.a. 
  162. Zaid bin al-Marini bin Qais r.a. 
  163. Abdullah bin ‘Urfutah r.a. 
  164. Abdullah bin Rabi’ bin Qais r.a. 
  165. Abdullah bin Abdullah bin Ubai r.a. 
  166. Aus bin Khauli bin Abdullah r.a. 
  167. Zaid bin Wadi’ah bin 'Amru r.a. 
  168. ‘Uqbah bin Wahab bin Kaladah r.a. 
  169. Rifa’ah bin 'Amru bin 'Amru bin Zaid r.a. 
  170. 'Amir bin Salamah r.a. 
  171. Abu Khamishah Ma’bad bin Ubbad r.a. 
  172. 'Amir bin al- Bukair r.a. 
  173. Naufal bin Abdullah bin Nadhlah r.a. 
  174. ‘Utban bin Malik bin 'Amru bin al-Ajlan r.a. 
  175. ‘'Ubadah bin al-Shomit r.a. 
  176. Aus bin al-Shomit r.a. 
  177. Al-Nu’man bin Malik bin Tsa’labah r.a. 
  178. Tsabit bin Huzal bin 'Amru bin Qarbus r.a. 
  179. Malik bin Dukhsyum bin Mirdhakhah r.a. 
  180. Al-Rabi’ bin Iyas bin 'Amru bin Ghanam r.a. 
  181. Waraqah bin Iyas bin Ghanam r.a. 
  182. 'Amru bin Iyas r.a. 
  183. Al-Mujazzar bin Ziyad bin 'Amru r.a. 
  184. ‘'Ubadah bin al-Khasykhasy r.a. 
  185. Nahhab bin Tsa’labah bin Khazamah r.a. 
  186. Abdullah bin Tsa’labah bin Khazamah r.a. 
  187. 'Utbah bin Rabi’ah bin Khalid r.a. 
  188. Abu Dujanah Sima’ bin Kharasyah r.a. 
  189. Al-Mundzir bin 'Amru bin Khunais r.a. 
  190. Abu Usaid bin Malik bin Rabi’ah r.a. 
  191. Malik bin Mas’ud bin al-Badan r.a. 
  192. Abu Rabbihi bin Haqqi bin Aus r.a. 
  193. Ka’ab bin Humar al-Juhani r.a. 
  194. Dhamrah bin 'Amru r.a. 
  195. Ziyad bin 'Amru r.a. 
  196. Basbas bin 'Amru r.a. 
  197. Abdullah bin 'Amir al-Ba’lawi r.a. 
  198. Khirasy bin al-Shimmah bin 'Amru r.a. 
  199. Al-Hubab bin al-Mundzir bin al-Jamuh r.a. 
  200. 'Umair bin al- Humam bin al-Jamuh r.a. 
  201. Tamim (maula Khirasy bin al-Shimmah) r.a. 
  202. Abdullah bin 'Amru bin Haram r.a. 
  203. Mu'adz bin 'Amru bin al-Jamuh r.a. 
  204. Mu’awwiz bin 'Amru bin al-Jamuh r.a. 
  205. Khallad bin 'Amru bin al-Jamuh r.a. 
  206. ‘Uqbah bin 'Amir bin Nabi bin Zaid r.a. 
  207. Hubaib bin Aswad r.a. 
  208. Tsabit bin al- Jiz’i r.a. 
  209. 'Umair bin al- Harits bin Labdah r.a. 
  210. Basyir bin al- Barra’ bin Ma’mur r.a. 
  211. Al-Tufail bin al-Nu’man bin Khansa’ r.a. 
  212. Sinan bin Saifi bin Sakhr bin Khansa’ r.a. 
  213. Abdullah bin al-Jaddi bin Qais r.a. 
  214. 'Atabah bin Abdullah bin Sakhr r.a. 
  215. Jabbar bin Umaiyah bin Sakhr r.a. 
  216. Kharijah bin Humayyir al-Asyja’i r.a. 
  217. Abdullah bin Humayyir al-Asyja’i r.a. 
  218. Yazid bin al- Mundzir bin Sahr r.a. 
  219. Ma’qil bin al-Mundzir bin Sahr r.a. 
  220. Abdullah bin al-Nu’man bin Baldumah r.a. 
  221. Al-Dhahlak bin Haritsah bin Zaid r.a. 
  222. Sawad bin Razni bin Zaid r.a. 
  223. Ma’bad bin Qais bin Sakhr bin Haram r.a. 
  224. Abdullah bin Qais bin Sakhr bin Haram r.a. 
  225. Abdullah bin Abdi Manaf r.a. 
  226. Jabir bin Abdullah bin Riab r.a. 
  227. Khulaidah bin Qais bin al-Nu’man r.a. 
  228. An-Nu’man bin Yasar r.a. 
  229. Abu al- Mundzir Yazid bin 'Amir r.a. 
  230. Qutbah bin 'Amir bin Hadidah r.a. 
  231. Sulaim bin 'Amru bin Hadidah r.a. 
  232. Antarah (maula Qutbah bin 'Amir) r.a. 
  233. Abbas bin 'Amir bin 'Adi r.a. 
  234. Abul Yasar Ka’ab bin 'Amru bin 'Abbad r.a. 
  235. Sahl bin Qais bin Abi Ka’ab bin al-Qais r.a. 
  236. 'Amru bin Talqi bin Zaid bin Umaiyah r.a. 
  237. Mu'adz bin Jabal bin 'Amru bin Aus r.a. 
  238. Qais bin Mihshan bin Khalid r.a. 
  239. Abu Khalid al-Harits bin Qais bin Khalid r.a. 
  240. Zubair bin Iyas bin Khalid r.a. 
  241. Abu 'Ubadah Sa’ad bin 'Utsman r.a. 
  242. ‘Uqbah bin 'Utsman bin Khaladah r.a. 
  243. 'Ubadah bin Qais bin 'Amir bin Khalid r.a. 
  244. As’ad bin Yazid bin al-Fakih r.a. 
  245. Al-Fakih bin Bisyr r.a. 
  246. Zakwan bin Abdu Qais bin Khaladah r.a. 
  247. Mu'adz bin Ma’ish bin Qais bin Khaladah r.a. 
  248. 'Aiz bin Ma’ish bin Qais bin Khaladah r.a. 
  249. Mas’ud bin Qais bin Khaladah r.a. 
  250. Rifa’ah bin Rafi’ bin al-'Ajalan r.a. 
  251. Khallad bin Rafi’ bin al-'Ajalan r.a. 
  252. 'Ubaid bin Yazid bin 'Amir bin al-'Ajalan r.a. 
  253. Ziyad bin Lubaid bin Tsa’labah r.a. 
  254. Khalid bin Qais bin al-'Ajalan r.a. 
  255. Rujailah bin Tsa’labah bin Khalid r.a. 
  256. 'Athiyyah bin Nuwairah bin 'Amir r.a. 
  257. Khalifah bin 'Adi bin 'Amru r.a. 
  258. Rafi’ bin al-Mu’alla bin Luzan r.a. 
  259. Abu Ayyub bin Khalid al-Ansari r.a. 
  260. Tsabit bin Khalid bin al-Nu’man r.a. 
  261. ‘Umarah bin Hazmi bin Zaid r.a. 
  262. Suraqah bin Ka’ab bin Abdul 'Uzza r.a. 
  263. Suhail bin Rafi’ bin Abi 'Amru r.a. 
  264. 'Adi bin Abi al-Zaghba’ al-Juhani r.a. 
  265. Mas’ud bin Aus bin Zaid r.a. 
  266. Abu Khuzaimah bin Aus bin Zaid r.a. 
  267. Rafi’ bin al-Harits bin Sawad bin Zaid r.a. 
  268. Auf bin al-Harits bin Rifa’ah r.a. 
  269. Mu’awwaz bin al-Harits bin Rifa’ah r.a. 
  270. Mu'adz bin al-Harits bin Rifa’ah r.a. 
  271. An-Nu’man bin 'Amru bin Rifa’ah r.a. 
  272. Abdullah bin Qais bin Khalid r.a. 
  273. Wadi’ah bin 'Amru al-Juhani r.a. 
  274. Ishmah al-Asyja’i r.a. 
  275. Tsabit bin 'Amru bin Zaid bin 'Adi r.a. 
  276. Sahl bin ‘Atiq bin al-Nu’man r.a. 
  277. Tsa’labah bin 'Amru bin Mihshan r.a. 
  278. Al-Harits bin al-Shimmah bin 'Amru r.a. 
  279. Ubai bin Ka’ab bin Qais r.a. 
  280. Anas bin Mu'adz bin Anas bin Qais r.a. 
  281. Aus bin Tsabit bin al-Mundzir bin Haram r.a. 
  282. Abu Syeikh bin Ubai bin Tsabit r.a. 
  283. Abu Tolhah bin Zaid bin Sahl r.a. 
  284. Abu Syeikh Ubai bin Tsabit r.a. 
  285. Haritsah bin Suraqah bin al-Harits r.a. 
  286. 'Amru bin Tsa’labah bin Wahb bin 'Adi r.a. 
  287. Salit bin Qais bin 'Amru bin ‘Atiq r.a. 
  288. Abu Salit bin Usairah bin 'Amru r.a. 
  289. Tsabit bin Khansa’ bin 'Amru bin Malik r.a. 
  290. 'Amir bin Umaiyyah bin Zaid r.a. 
  291. Muhriz bin 'Amir bin Malik r.a. 
  292. Sawad bin Ghaziyyah r.a. 
  293. Abu Zaid Qais bin Sakan r.a. 
  294. Abul A’war bin al-Harits bin Zalim r.a. 
  295. Sulaim bin Milhan r.a. 
  296. Haram bin Milhan r.a. 
  297. Qais bin Abi Sha’sha’ah r.a. 
  298. Abdullah bin Ka’ab bin 'Amru r.a. 
  299. ‘Ishmah al-Asadi r.a. 
  300. Abu Daud 'Umair bin 'Amir bin Malik r.a. 
  301. Suraqah bin 'Amru bin 'Athiyyah r.a. 
  302. Qais bin Mukhallad bin Tsa’labah r.a. 
  303. Al-Nu’man bin Abdi 'Amru bin Mas’ud r.a. 
  304. Al-Dhahhak bin Abdi 'Amru r.a. 
  305. Sulaim bin al-Harits bin Tsa’labah r.a. 
  306. Jabir bin Khalid bin Mas’ud r.a. 
  307. Sa’ad bin Suhail bin Abdul Asyhal r.a. 
  308. Ka’ab bin Zaid bin Qais r.a. 
  309. Bujir bin Abi Bujir al-'Abbasi r.a. 
  310. ‘Itban bin Malik bin 'Amru al- 'Ajalan r.a. 
  311. ‘Ishmah bin al-Hushain bin Wabarah r.a. 
  312. Hilal bin al-Mu’alla al-Khazraj r.a. 
  313. Oleh bin Syuqrat r.a. (khadam Nabi s.a.w.) 


Para Penghuni Surga

Diposkan Oleh: Muhtadi Bantan - Diperbarui Pada: Jumat, 20 Mei 2011 Pukul 05.47.00



PARA PENGHUNI SURGA
Telah di sabdakan Rosululloh shollallohu 'alaihi wa alihi wa shohbihi wasallam: bahwa seorang penghuni surga akan selalu di beri kemudahan untuk melakukan kebaikan.

Itu sebabnya yang membuat mereka tiada sungkan melakukan hal yang membuat diri mereka termasuk ahli surga, sesuai dengan hadits qudsi;

كلّ ميسّر لما خلق

"KULLUN MUYASSARUN LIMA KHULIQO"

"semua di mudahkan dgn keistimewaan masing=masing",

Istimewa di sini ialah perbuatan-perbuatan yang dirinya merasa mudah atau
gampang sekali mengamalkan apa yang telah dia peroleh, terlebih keistimewaan ini menjadi watak dan tabiat atas perilaku sehari=hari.

Bagaimana tidak bahagianya orang yang telah di berikan hidayah dan terbuka hati mengamalkan setiap yang bisa membuat dia menjadi calon ahli surga, dengan begitu, keahlian calon penghuni surga teramat beda dari kebanyakan, entah sekedar tadarus al-qur`an beberapa kali khatam satu hari, ada juga di tempuh hanya dengan sholat sunah tiap hari 500 raka'at, bisa juga dengan melakukan pelayanan pada ummat sekedar memberi petuah-petuah dan wejangan-wejangan agama dan memberikan tafaqquh fiddin (mendalami ilmu agama), bisa pula dengan berpuasa sunah saja tanpa henti, ada yang mengamalkan sholawat, berdzikir ribuan kali, dan bisa juga di tempuh dengan hanya pergi ke hutan mencari seikat kayu bakar lalu di jual ke pasar hasilnya di sedekahkan, malah ada yang hanya membantu seorang 'alim saja (ngakhodam; sunda), atau ahli ibadah sekedar membantu kebutuhannya dalam mengembangkan ilmu dan peribadatan,

Alhasil, jalan untuk menempuh jalan 'piakherateun' itu banyak, tergantung bagaimana 'angleh'nya saja, mudah melakukan, karik kadaek, Allohu a'lamu bisshowab.

Pengenalan Kepada Tuhan

Diposkan Oleh: Muhtadi Bantan - Diperbarui Pada: Minggu, 15 Mei 2011 Pukul 17.23.00



Mengenal diri sendiri akan mengenal Tuhannya


"Siapa yg mengenal diri sendiri maka akan mengenal Tuhannya......"

Itulah sebaris ungkapan yang banyak sekali makna terkandung di dalamnya, kita di suguhkan untuk pengenalan diri tuk sendiri bukan buat orang lain.

Maka siapakah saya?

Saya berujud manusia dan perwujudan ini merupakan wujud kasar yaitu tubuh. Keberadaan tubuh mempunyai ciri, dan ciri inilah merupakan ciri dari keterbatasan, sebab tubuh manusia tiap detik, menit, jam dan seterusnya. mengalami perubahan dari tiada ke ada, dari gerak ke diam, (salah satu sifat benda). Sejak dari sebelum di lahirkan bunda, hingga sekarang, dan sekarang melakukan berbagai kegiatan, pekerjaan dan berbagai aktifitas, maka pekerjaan dan melakukan aktifitas ini tiada keluar dari unsur gerak atau diam.

Bila tubuh manusia mengalami diam maka dia tak bergerak dan begitu juga kala gerak maka diamnya tiada, maka sebagai konsekwensi tubuh kedapatan gerak atau diam ini, berarti manusia mempunyai keterbatasan diri, TERBATAS bukan tak terbatas, sebabnya mengalami perobahan dari ada ke tiada, dari diam ke gerak, dari gerak ke diam, dan otomatis tubuh manusia namanya BARU, ada mulanya ada awalnya, keberadaanya sah2 saja bukan kepastian, bukan HARUS ADA, bukan wajib ada.

Sebagai perkara baru ya'ni ada mulanya, ada awalnya, manusia membutuhkan penciptanya, perlu pembuatnya. Maka siapakah pembuatnya?

Pembuatnya harus mempunya ciri TAK TERBATAS, TIADA BERUBAH, maka pencipta ini, harus tak bermula, tiada membutuhkan kepada yang lainnya. Berarti adanya ADA PASTI, (wajib ada), adanya TAK BERMULA, adanya TAK BERAKHIR.

PASTI ADA berarti tiada matinya, tiada ruksaknya dan tak mengalami perubahan. Dari dulu 'tak bermula adanya' hingga tak ada akhirnya, pencipta tetap begitu keadaannya. Sebelum menciptakan langit bumi, pencipta tetap dalam keadaannya, dan setelah menciptakan singgasananya pun, tak mengalami perubahan, tidak duduk, tak bersemayam. Kalau berpindah keadaan, sama halnya pencipta mengalami perubahan dan keterbatasan, maka itu mustahil, tak bisa di terima akal yang sehat.


WAJIB AQLI ARIDHI

Diposkan Oleh: Muhtadi Bantan - Diperbarui Pada: Rabu, 16 Februari 2011 Pukul 22.35.00


WAJIB AQLI ARIDHI

"wajib bagi orang-orang kafir masuk kedalam neraka dan wajib bagi orang-orang mukmin masuk ke surga nya Allah ta'ala inilah yang di sebut dengan WAJIB AQLI ARIDHI".





أَعُوْذُ بِاللِه مِنَ الشََّيْطَانِ الرَّجِيْمِ





بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ





بَلَى مَن كَسَبَ سَيِّئَةً وَأَحَاطَتْ بِهِ خَطِيـئَتُهُ فَأُوْلَـئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ





وَالَّذِينَ آمَنُواْ وَعَمِلُواْ الصَّالِحَاتِ أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ



Artinya: (Bukan demikian), yang benar, barang siapa berbuat dosa dan ia telah diliputi oleh dosanya, mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.

Dan orang-orang yang beriman serta beramal saleh, mereka itu penghuni surga, mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al Baqoroh : 81-82)

saya bukan ingin menafsiri Alqur,an yang mulia surat Albaqoroh 81- 82 tersebut .tapi hanya hendak mengutarakan tentang kepastian bahwa kebenaran al-qur,an (naql) tidak pernah bertentangan dengan akal sehat (aqli).

di kabarkan bahwa orang-orang berdosa (musyrik ,kafir: red) akan di masukan ke dalam neraka begitupun orang2 mukmin akan di masukan ke dalam surga.

HUBUNGANNYA DENGAN HUKUM AKAL (AQLI)

ta'rif/Definisi Hukum Akal ( Hukum Aqli ):




وهو اثبتا امر لامر اونفيه عنه من غير توقف عل تكرار ولا وضع واضع اى ولا استناد الي الشر ع



Menetapkan suatu perkara kepada yang lainnya/melepaskan suatu perkara atas perkara lainnya serta tidak menunggu penganalisaan dari sering terjadi(hukum adi)dan tidak menunggu atas penetapan asy-syar,i(hukum syar,i)( khoridatul bahiyyah hal 23)

Faktanya menemukannya si Akal terhadap perkara cuma menemukan/menghadapi tiga perkara saja yaitu
1.perkara yang wajib (pasti)
2.perkara yang mustahil (tiada pasti)
3.perkara yang jaiz.(mumkin)

keputusan hukum akal memang tidak menunggu penganalisaan dari seringnya terjadi (seperti pada hukum 'adi; hukum adat; alamiah.) dan tidak menunggu atas penetapan atau yang menetapkan (seperti pada hukum syar'i; sara').
kendatipun demikian hukum akal tidak pernah bertentangan dengan syari,at.dan ada pada beberapa perkara akal musti merujuk & tunduk pada syariat....

akal mengatakan syah-syah saja bagi Allah ta'ala memasukan orang-orang kafir ke surga. dan orang-orang mukmin ke neraka terserah allah ta'ala karena dia yang menciptakanNya. tidak ada yang bisa mengintervensinya, mutlak hak prerogatifNya Allah ta'ala. tetapi karena ada khabar syar,i (alqur,an,hadits) contoh Qs alboqoroh 81-82 di atas. maka dalam hal ini akal wajib merujuk pada dalil syar,i (naql) tersebut.

dan akal yang sehat akan mengatakan wajib bagi orang-orang kafir akan masuk ke dalam neraka. dan wajib bagi orang -orang mukmin akan masuk ke dalam surga sesuai sengan ayat tersebut di atas. inilah yang di sebut dengan WAJIB AQLI ARIDHI =yaitu ketentuan hukum akal yang tunduk pada syariat ini juga suatu bukti bahwa kebenaran syari'at tidak pernah bertentangan dengan akal sehat ini juga bukti bahwa akal menjadi saksi bagi kebenaran syariat !!




العقل شاهد للشرع



maka dustalah jika ada yang mengatakan bahwa al asya'iroh(ahlu sunnah waljama'ah) adalah kaum yang mendahulukan Akal dari pada naql.dan jahilah jika ada yang mengatakan ,jika Al asya'iroh berhujah dengan dalil aqli mereka menyebutnya akal akalan saja..justru akal mereka yang tidak sampai atau malah perlu di service..!

Silsilah

Diposkan Oleh: Muhtadi Bantan - Diperbarui Pada: Pukul 12.59.00


Silsilah


Bukan maksud menyombongkan diri dan bukan pula berlaga-lagu, saya mengutarakan ini hanya untuk bersyukur atas semua nikmat karunia Ilahi semata, sesuai dengan "QS: Ad-Duha ayat akhir"

وأما بنعمة ربك فحدث


Adapun dengan nikmat Tuhanmu maka ceritakan

Sekelumit tentang saya.

1. silsilah

Di lahirkan di Cikadueun pada tgl.30 Rajab dengan nama Muhammad Muhtadi, dalam buku catatan sipil, ijazah juga KTP bernama Encep Muhtadi dari pasangan H. Hasbulloh bin H. Syafei bin H. Madsirad (M. Syirajudin) bin tb. Fudyan bin tb. Suryakencana bitung bin Raden Arya Kusuma Difarana bin tb. Siyay (tb. Kiai) bin tb. Muhammad Said Pangeran Natabaya bin Sulthon Abulmahasin Zaenal Abidin bin Sulthon Haji. Adapun dari ibu bernama Hj. Khadijah bt. H. Zuhri bin H. Ya'qub bin H. Adnan bin Nyi Halimah bt. Aisyah bt. Nyi Purun bt. Ki Rohim bin Nyi Rohiyah bt. Ki Romiya bin Ki Utsman bin Tb. Muhamad Sholeh Kiyai Manshur Cikadueun bin Sulthon Muhamad Syifa Zainul Alamin bin Sulthon Abul Mahasin Zaenal Abidin bin Sulthom Haji bin Sulthon Ageng Tirtayasa Abdul fattah Pangeran Surya bin Sulthon Ahmad Kanari bin Maulana Abul mafakhir Mahmud Abdul qodir bin Maulana Muhamad Nasrudin Ratu Banten bin Maulana Yusuf Pakalangan bin Maulana Hasanudin Syekh Sabakinkin bin Maulana Syarif Hidayatulloh Syekh Sunangunungjati bin Maulana Syarif Abdulloh dan ibu Syarifah Mudaim Nyi Larasantang putri Baduga Prabu Siliwangi.

2. Menuntut Ilmu

Dan sebagai manusia, saya di lahirkan tidak membawa ilmu. Muhtadi kecil mengenyam didikan di SD. Kadudampit enam tahun, dan lulus terus melanjutkan ke MTs. Al-Hikmah Cipeucang tiga tahun, setelahnya melanjutkan belajar menempuh jalan jadi Drs. (di rumah saja) di asuh ayah tercinta dan guru di lingkungan sekitar terutama di Abah KH. Memed Zaenal Abidin bin Embah Isa bin KH. Sayudin Cipadung Munjul. Menjelang dewasa dan badan pun teu pati letoy, terus melanjutkan belajar ke Kadukaweng di pesantren Riyadhul Alfiyah, di Mama Kiai Haji Sanja bin H. Kasmin dan Hj. Umi Elas sekeluarga. Seterusnya melanjutkan ke Tanggerang tepatnya di Caringin Cisoka, Saekhuna Abah H. Yusuf bin Muhamad Said dan ibu Hj. Uminah. Dan kembali ke kampung tahum '94 dan menunggu giliran dengan adikadik yang belajar ke tempat jauh, yang tadinya saya ingin melanjukan ke wetan (timur) maunya ke Warudoyong tempat di mana wetan itu gudangnya ilmu sastra arab dan ilmu falak, sambil membantu ayahanda,  Muhtadi menyibukkan diri hinga sekarang masih santri dan mesantren di Pondok Pesantren Nurul Huda. Selengkapnya--->>>


Muhtadi Hasbi



Ende H. Syafe'i bin H. M. Syirajuddin